Rabu, 23 Oktober 2013

PASAR MODAL SYARIAH



Di Indonesia, kegiatan pasar modal diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal (UUPM)  No. 8 tahun 1995. Disebutkan bahwa pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum, perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Efek menurut UUPM yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas efek, dan setiap derevatif efek. Namun, UUPM belum membedakan apakah kegiatan pasar modal dibagi menjadi kategori syariah atau umum.[1] 
      Perkembangan Bank di Indonesia, kegiatan pasar modal diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal (UUPM)  No. 8 tahun 1995. Disebutkan bahwa pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum, perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
      Efek menurut UUPM yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas efek,  dan setiap derevatif efek.
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas maupun jenisnya. Perbankan syariah yang mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1992 dengan berdirinya Bank Muamalat dan disusul dengan Asuransi Syariah Takaful yang didirikan pada tahun 1994. Kedua lembaga keuangan syariah tersebut bisa katakan menjadi pioneer tumbuhnya bisnis syariah di Indonesia. Pada awal berdirinya, bukan hal yang mudah untuk memperkenalkan bisnis syariah di Indonesia walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mulai dari istilah yang cukup sulit dihafalkan, sampai dengan konsep operasional yang dirasakan berbelit-belit.
Saat itu, bisnis syariah harus bersaing dengan lembaga keuangan konvensional yang lebih besar serta memiliki konsep operasional yang lebih sederhana dan masyarakat telah memahami dengan baik. Masyarakat telah sangat familiar dengan istilah bunga, kredit, dan terminologi lain yang sangat melekat dibenak mereka. Belum lagi penguasaan pasar yang lebih kuat membuat para pioneer tersebut sempat ragu dengan kelangsungan bisnis berbasis syariah ini. Namun, krisis moneter tahun 1997 telah membawa hikmah yang besar bagi perkembangan  lembaga keuangan syariah di Indonesia. Pada saat bank-bank konvensional lainnya goyah, Bank muamalat dan bisnis syariah lainnya membuktikan bahwa sistem perekonomian berbasis bunga akan menimbulkan ketergantungan dan kesengsaraan jangka panjang. Lembaga keuangan syariah yang tidak tergantung dengan peran bunga akhirnya selamat dari krisis dan bahkan  sekarang menjadi sebuah potensi kekuatan yang suatu saat akan mampu membuktikan bahwa sistem ekonomi islam memberikan kesejahteraan dan keadilan.
Saat ini, tidak hanya lembaga keuangan syariah yang bersifat komersil saja yang berkembang, namun juga lembaga keuangan syariah yang bersifat nirlaba. Lembaga keuangan syariah komersial yang berkembang saat ini antara lain : pegadaian syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, dan obligasi syariah. Sedangkan lembaga keuangan syariah nirlaba yang saat ini berkembang antara lain : organisasi pengelola zakat, baik badan amil zakat maupun lembaga amil zakat, dan badan wakaf. Bahkan lembaga keuangan mikro syariah seperti Bank BMT (Baitul Maal wa Tamwil) juga turut berkembang sangat pesat di Indonesia.

B.     Gambaran Umum Pasar Modal Syariah
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Harus dipahami bahwa ditengah maraknya pertumbuhan kegiatan ekonomi syariah secara umum di Indonesia, perkembangan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia masih dianggap belum mengalami kemajuan yang cukup signifikan, meskipun kegiatan investasi syariah tersebut telah dimulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997 melalui instrumen reksa dana syariah serta sejumlah fatwa DSN-MUI berkaitan dengan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia.
Pasar modal syariah adalah pasar modal yang seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan peundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah.[3] Momentum berkembangnya pasar modal berbasis syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1997, yakni dengan diluncurkannya Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa Investment Management. Selanjutnya Bursa Efek Indonesia bekerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah dan Indeks Saham Syariah Indonesia pada tanggal 12 Mei 2011.
Dilihat dari kenyataannya, walaupun sebagian besar penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam namun perkembangan pasar modal yang berbasis syariah dapat dikatakan sangat tertinggal jauh terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah bisa dikatakan telah menjadi pusat investasi berbasis syariah di dunia, karena telah menerapkan beberapa instrumen keuangan syariah untuk industri pasar modalnya. Kenyataan lain yang dihadapi oleh pasar modal syariah kita hingga saat ini adalah minimnya jumlah pemodal yang melakukan investasi, terutama jika dibandingkan dengan jumlah pemodal yang ada pada sektor perbankan.
Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, Indonesia terlihat begitu tertinggal jauh dalam mengembangkan kegiatan investasi syariah di pasar modal. Malaysia pertama kali mengembangkan kegiatan pasar modal syariah sejak awal tahun 1990 dan saat ini terus mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sebagai contoh, data menunjukkan hingga akhir tahun 2004 total Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana Syariah mencapai 7,7% (tujuh koma tujuh perseratus) dari total NAB industri Reksa Dana di Malaysia, sedangkan Indonesia baru mencapai 0,51% (nol koma lima puluh satu per seratus) dari total NAB industri reksa dana.
Walupun perbandingan antara Pasar Modal Syariah di Indonesia dirasa masih tertinggal, setidaknya pemerintah Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin untuk pengembangan Pasar Modal Syariah.
Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan umat  Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip dasar syariah. Dengan semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, disamping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan.
Pasar modal syariah di Indonesia secara resmi dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 2003 berdasarkan dengan penandatanganan MOU antara BAPEPAM-LK dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia(DSN-MUI). Walaupun secara resmi diluncurkan pada tahun 2003, namun  instrumen pasar modal syariah telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa investment Management. Selanjutnaya bursa efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) pada 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.[4]
Perkembangan pasar modal syariah di Indonesia secara umum ditandai oleh berbagai indikator diantaranya adalah semakin maraknya para pelaku pasar modal syariah yang menyalurkan efek-efek syariah selain saham-saham dalam JII. Karakter yang diperlukan dalam membantu struktur pasar modal syariah adalah sebagai berikut: [5]
1.      Semua saham harus diperjualbelikan pada bursa efek
2.      Bursa perlu mempersiapkan pasca perdagangan dimana saham dapat diperjualbelikan melalui pialang.
3.      Saham tidak boleh diperdagangakan dengan harga lebih tinggi dari harga saham tertinggi
4.      Komite manajemen menerapkan harga saham tertinggi tiap-tiap perusahaan dengan interval tidak lebih dari 3 bulan sekali.
            Bentuk ideal dari pasar modal syariah dapat dicapai dengan Islamisasi empat pilar pasar modal, yaitu:[6]
1.      Emiten (perusahaan) dan efek yang diterbitkannya didorong untuk memenuhi kaidah syariah syariah, keadilan, kehati-hatian, dan transparansi
2.      Pelaku pasar (investor) harus memiliki pemahaman yang baik tentang ketentuan muamalah, manfaat, dan risiko transaksi di pasar modal.
3.      Infrastruktur informasi bursa efek yang jujur, transparan, dan tepat waktu yang merata di publik yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar
4.      Pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat diselenggarakan secara adil, efisien, efektif dan ekonomis.
             
C.    Prinsip Dasar Pasar modal Syariah
            Definisi pasar modal sesuai dengan UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. [7]
Berdasarkan definisi tersebut, terminologi pasar modal syariah dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang diatur dalam UUPM yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, pasar modal syariah bukanlah suatu sistem yang terpisah dari sistem pasar modal secara keseluruhan. Secara umum kegiatan Pasar Modal Syariah tidak memiliki perbedaan dengan pasar modal konvensional, namun terdapat beberapa karakteristik khusus Pasar Modal Syariah yaitu bahwa produk dan mekanisme transaksi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Penerapan prinsip syariah di pasar modal tentunya bersumberkan pada Al Quran sebagai sumber hukum tertinggi dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya, dari kedua sumber hukum tersebut para ulama melakukan penafsiran yang kemudian disebut ilmu fiqih. Salah satu pembahasan dalam ilmu fiqih adalah pembahasan tentang muamalah, yaitu hubungan diantara sesama manusia terkait perniagaan. Berdasarkan itulah kegiatan pasar modal syariah dikembangkan dengan basis fiqih muamalah. Terdapat kaidah fiqih muamalah yang menyatakan bahwa “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Konsep inilah yang menjadi prinsip pasar modal syariah di Indonesia.
Prinsip Pasar Modal Syariah[8]
Penyebab haramnya transaksi
Implikasi di pasar modal
Li dzatihi


Efek yang diperjualbelikan harus merupakan representasi dari barang dan jasa yang halal
Li ghairihi (karena selain zatnya)
Tadlis
1.      Keterbukaan/transparansi informasi
2.      Larangan informasi yang menyesatkan
Taqrir
Larangan terhadap transaksi yang mengandung ketidakjelasan objek yang ditransaksikan, baik dari sisi pembelian maupun dari sisi penjualan
Riba fadhl
Larangan atas tukar efek  sejenis dengan nilai nominal yang berbeda
Riba nasiah
Larangan atas perdagangan efek fiscal income yang bukan representasi ‘ayn
Riba jahiliyah
Larangan atas short selling yang menetapkan bunga atas pinjaman
Bai’ najasi
Larangan melakukan rekayasa permintaan untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal, dengan cara menciptakan false demand
Ikhtikar
Larangan melakukan rekayasa penawaran untuk mendapatkan keuntungan di atas laba normal, dengan cara mengurangi supply agar harga jual naik
Tidak sah akad
Rukun dan syarat
Larangan atas semua investasi yang tidak dilakukan secara spot (secara langsung)


Ta’alluq
Transaksi yang settlement-nya dikaitkan dengan transaksi lainnya (menjual saham dengan syarat)


2 in 1
Dua transaksi dalam satu akad, dengan syarat:
1.      Objek sama
2.      Pelakunya sama
3.      Periode sama


D.    Produk-Produk Pasar Modal Syariah
            Dalam melakukan transaksi di pasar biasanya ada barang atau jasa yang diperjualbelikan. Begitu pula dalam pasar modal, barang yang diperjualbelikan kita kenal dengan istilah instrument pasar modal.[9] Instrumen pasar modal pada prinsipnya adalah semua surat-surat berharga (efek) yang umum diperjualbelikan melalui pasar modal. Efek adalah setiap surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, sekuritas kredit, tanda bukti utang, right, warrans, opsi atau setiap derivative dari efek atau setiap instrument yang ditetapkan oleh Bapepam LK sebagai efek. Sifat efek yang diperdagangkan di pasar modal (bursa efek) biasanya berjangka waktu panjang. Instrument yang paling umum diperjualbelikan melalui bursa efek antara lain saham, obligasi, rights, obligasi konversi.
Sebelum melakukan transaksi, investor harus terlebih dahulu menjadi nasabah di salah satu perusahaan efek yang menjadi anggota bursa. Seperti halnya dalam membuka tabungan di bank, harus ada minimal investasi awal yang ditempatkan.[10] Jumlah deposit yang diwajibkan bervariasi, misalnya ada perusahaan efek yang mewajibkan sebesar Rp.15 juta, ada sebesar Rp.25 juta, dan lain-lain. Namun ada juga perusahaan yang menentukan misalnya 50 persen dari transaksi yang akan dilakukan sebagai deposit. Misalkan seorang nasabah akan bertransaksi sebesar Rp.10 juta maka yang bersangkutan diminta untuk menyetor dana sebesar Rp. 5 juta.
Sedangkan pada pasar modal syariah secara khusus memperjualbelikan efek syariah. Efek syariah adalah efek yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip syariah yang didasarkan atas ajaran Islam yang menetapannya dilakukan oleh DSN-MUI dalam bentuk fatwa. Secara umum ketentuan syariah harus sesuai dengan prinsip syariah di pasar modal. Prinsip-prinsip syariah di pasar modal adalah prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa dewan Syariah Nasional Ulama Indonesia (DSN-MUI), baik fatwa DSN-MUI yang ditetapkan dalam peraturan Bapepam dan LK maupun fatwa DSN-MUI yang telah diterbitkan sebelum ditetapkan Bapepam dan LK.[11]
Produk syariah di pasar modal antara lain berupa surat berharga atau efek. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek.
Sejalan dengan definisi tersebut, maka produk syariah yang berupa efek harus tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu efek tersebut dikatakan sebagai Efek Syariah. Dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah disebutkan bahwa Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam UUPM dan peraturan pelaksanaannya yang akad, cara, dan kegiatan usaha yang menjadi landasan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip syariah di Pasar Modal.
Sampai saat ini, efek-efek syariah menurut fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syariah di bidang pasar modal mencakup saham syariah, obligasi syariah, reksa dana syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Asset (KIK EBA) syariah dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Belakangan, instrument keuangan syariah bertambah dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran syariah pada tanggal 6 Maret 2008.
Sampai dengan saat ini, Efek Syariah yang telah diterbitkan di pasar modal Indonesia meliputi:[12]
1.   Saham Syariah
        Saham atau stocks adalah surat bukti atau tanda kepemilikan bagian modal pada suatu perusahaan terbatas.[13] Dengan demikian si pemilik saham merupakan pemilik perusahaan. Semakin besar saham yang dimilikinya, maka semakin besar pula kekuasaan tersebut.
        Sedangkan saham syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu usaha perusahaan yang diterbitkan oleh emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolahannya tidak bertentang dengan prinsip syariah. Saham tersebut merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Sedangkan dalam prinsip syariah, penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti bidang perjudian, riba, memproduksi barang yang haram seperti minuman alkohol.
2.   Obligasi syariah/Sukuk
        Obligasi atau bonds secara konvensional merupakan bukti hutang dari emiten yang dijamin oleh penanggung yang menanggung janji pembayaran bunga atau janji lainnya serta pelunasan pokok pinjaman yang dilakukan pada tanggal jatuh tempo.
        Sedangkan obligasi syariah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Dengan demikian, pemegang obligasi syariah akan mendapatkan  keuntungan bukan dalam bentuk bunga melainkan dalam bentuk bagi hasil/margin/fee.
        Sukuk pada prinsipnya mirip serta obligasinya konvensional, yang mana sistem konvensional pendapatan yang diperolah berupa bunga yang diterima sesuai dengan klausa kontrak, ada yang 3 bulan, 4 bulan bahkan setiap tahun. Jadi antara konvensional dengan syariah mempunyai perbedaan pokok, antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya akad atau pejanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.
        Dalam tinjauan akadnya obligasi syariah terbagi pada obligasi syariah mudharobah, ijarah, murobahah, salam, istisna’. Di samping itu, ada juga obligasi syariah mudharabah konversi. Sedangkan ditinjau dari institusi yang menerbitkan obligasi syariah, maka obligasi syariah terbagi dua, yaitu obligasi korporasi (perusahaan) dan obligasi Negara (SBSN).
a.   Sukuk Korporasi
Sukuk Korporasi merupakan jenis obligasi syariah yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memenuhi prinsip syariah.
b.  Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Sukuk ini biasa disebut sukuk Negara, adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap asset SBSN, baik dalam mata uang rupiah atau valuta asing.
3.   Reksa Dana Syariah.
        Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Sedangkan reksadana syariah adalah reksadana yang beroperesi menurut ketentuan dalam prinsip syariah, baik dalam bentuk akad, pengelolaan dana dan penggunaan dana. Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah.
        Reksa dana syariah adalah reksa dana yang beroperasi menerut ketentuan dan prinsip syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara modal sebagai pemilik modal harta (shahih al-mal/rabb al-mal) dengan menajer investasi, bagitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan mengguna investasi.
4.   Efek berangun Aset Syariah
        Efek beragun Aset Syariah adalah efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif  EBA syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.  
5.   Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Righ Issue)
        Fatwa DSN_MUI Nomor: 65/DSN-MUI/III/2008 tentang hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) memastikan bahwa kehalalan investasi di pasar modal tidak hanya berhenti pada instrumen efek yang bernama saham saja, tetapi juga pada produk derivatifnya. Produk turunan saham (derivative) yang dinilai sesuai dengan criteria DSN adalah produk right (HMETD). Produk yang bersifat hak dan melekat dengan produk induknya itu menjadi produk investasi yang sudah memenuhi criteria DSN. Mekanisme HMETD ini dipandang lebih menguntungkan dibandingkan harus meminjam di bank karena dana yang diperoleh lebih murah, tak ada biaya tambahan, profesi, dan masalah administrasi bank lainnya, karena dana dipasok oleh pemegang sahamnya sendiri.
        Mekanisme rights bersifat opsional di mana rights merupakan hak untuk membeli saham pada harga tertentu pada waktu tertentu yang telah ditetapkan. Rights ini diberikan kepada pemegang saham lama yang berhak mendapatkan tambahan saham baru yang dikeluarkan perusahaan pada saat second offering. Berada dengan warran masa perdagangan rights sangat singkat, berkisar antara 1-2 minggu saja.
        Contoh, emiten mengeluarkan saham baru lewat mekanisme rigths issue (HMETD) atau disebut juga second offering untuk mengembangkan usahanya. Setiap pemilik satu saham lama berhak mendapatka dua saham baru dengan exrcise price Rp 950,-. Hak untuk membeli saham baru ini yang dinamakan rigths.
        Jika pemegang saham lama tidak mau membeli tambahan saham baru tadi, dia dia bisa menjual sebagian atau semua rigths yang dia miliki di pasar pada periode diperdagangkan. Jika memang mau menambah kepemilikannya, maka dia bisa mendapatkan saham baru pada harga Rp 950,-.  Rights sebelum jatuh tempo bisa diperdagangkan. Dan hasil penjualannya rights tersebut merupakan keuntungan bagi investor yang memilikinya.
6.   Warran Syariah
        Fatwa DSN-MUI Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang warran syariah pada tanggal 6 Maret 2008 memastikan bahwa kehalalan investasi di pasar modal tidak hanya berhenti pada instrument efek yang bernama saham saja, tetapi juga pada produk derivatifnya. Produk turunan saham (derivatif) yang dinilai sesuai dengan kriteria DSN adalah juga warran. Berdasarkan fatwa pengalihan saham dengan imbalan (warran), seorang pemegang saham diperolehkan untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain dengan mendapatkan imbalan.
        Mekanisme warran bersifat opsional di mana warran merupakan hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan dengan waktu yang telah ditetapkan pula. Misalnya warran ABCD jatuh tempo pada November 2010, dengan exercise price Rp 1.000,- artinya jika investor memiliki warran saham ABCD, maka dia berhak untuk membeli satu saham ABCD itu pada bulan November 2010 pada harga Rp 1.000,-. Warran sebelum jatuh tempo bisa diperdagangkan. Dan hasil penjualannya warran tersebut merupakan keuntungan bagi investor yang memilikinya.

E.     Kekuatan Hukum Fatwa Dewan Syariah Nasional
            DSN-MUI sebagai dewan yang dibentuk oleh MUI mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan dan produk dan jasa keuangan. Sampai dengan saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa terkait industri keuangan syariah termasuk fatwa tentang pasar modal syariah, sebagai berikut:
·         Fatwa Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas Di Pasar Reguler Bursa Efek
·         Fatwa Nomor: 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset To Be Leased
·           Fatwa Nomor: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back
·           Fatwa Nomor: 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back
·           Fatwa Nomor: 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
·       Fatwa Nomor: 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
·       Fatwa Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah
·       Fatwa Nomor: 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Syariah (HMETD Syariah)
·       Fatwa Nomor: 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi
·       Fatwa Nomor: 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah
·       Fatwa Nomor: 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah
·       Fatwa Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
·       Fatwa Nomor: 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah
·       Fatwa Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
·       Fatwa Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah

F.        Perbedaan pasar modal Konvesional dan Syariah
     Meskipun sampai saat ini peraturan yang bisa mengakomodasi penetapan prinsip syariah di pasar modal di Indonesia belum ada, namun pada prinsipnya struktur pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional. Beberapa hal yang sama antara lain konsep penerbitan obligasi, reksadana, dan instrumen lainnya, selama mengikuti prinsip-prinsip syariah. Perbedaan mendasar antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah adalah khusus masalah syariah yang tercermin pada produk, aqad, dan mekanisme transaksi.[14] Misalnya tentang kegiatan usaha perusahaan, karena syariah menghendaki kegiatan usaha perusahaan, karena syariah mengkehendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.
     Sebenarnya, banyak prinsip-prinsip syariah terkandung dalam peraturan perundangan yang sudah ada. Misalnya, prinsip ridho sama ridho yang ada dalam syariah juga terkadang dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian.[15]
1.      Indeks harga saham
              Indeks harga saham memiliki pengertian indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham.
Yang memiliki beberapa fungsi :
·         Sebagai tolak ukur untuk mengukur kinerja investasi pada saham
·         Sebagai indikator tingkat keuntungan
·         Memfasilitasi berkembangnya produk derivative.
Perbedaan antara pasar modal syariah dengan konvensional;
o   Indeks konvensional : memasukkan seluruh saham yang tercatat dibursa dengan mengabaikan aspek halal haram, yang penting saham emiten yang terdaftar sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
o   Indeks islam: indeks yang berdasarkan syari’at Islam, saham-saham yang masuk dalam indeks syariah adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah.
2.      Instrumen ialah semua aset-aset berharga yang diperdagangkan dibursa instrumennya umumnya bersifat jangka panjang.[16]
o   Konvensional, yang terdiri dari :[17]
·         Saham ialah surat tanda bukti kepemilikan yang diterbitkan oleh emiten.
·         Obligasi ialah surat tanda bukti kepemilikan dari emiten.
·         Instrument opsi ialah kumpulan dari surat berharga / suatu produk efek (sekuritas) yang akan memberikan hak kepada pembeli untuk membeli atau menjual sejumlah aset finansialnya.
·          Right ialah produk derivatif (turunan) dari saham yang memberikan hak bagi pemodal untuk membeli saham baru yang dikeluarkan emiten.
·         Waran ialah produk derivatif (turunan) dari saham yang memberikan hak untuk membeli sebuah saham pada harga yang telah ditetapkan dan pada waktu yang telah ditetapkan pula.
·          Reksadana ialah tempat untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal yang akan diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi.
o   Syariah : saham syariah, obligasi syariah, reksadana syariah, efek berangun aset syariah, hak memesan efek terlebih dahulu (righ issue), dan warran syariah.
3.      Mekanisme Transaksi.
Secara umum dijelaskan bahwa dalam konteks pasar modal syariah menurut alhabshi ialah idealnya tidak mengandung unsur Ribawi, transaksi, pasar modal syariah harus beretika, jauh dari sifat amoral seperti manipulasi pasar, transaksi yang memanfaatkan orang dalam.









[1] Ganjar Isnawan, Jurus Cerdas Investasi Syariah, (Jakarta: Laskar Aksara, 2012), 73
[2] Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi Pasar Modal Syariah Indonesia, ( Jakarta: Perdana memia Group, 2009), 88
[3] Eduardus Tandelilin, Portofolio Dan Investasi (Yogyakarta : kanisius, 2010), 155
[4] Indah yuliana, Investasi, Produk keuangan Syariah, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 47
[5] Ibid, 47-48
[6] Nasarudin,M. Irsan, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, ( Jakarta : Kencana, 2004),61
[7] Abdullah Amrin, Meraih Berkan melalui Asuransi Syari’ah ditinjau dari perbandingan dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), 122
[8] Heri sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah edisi kedua, (Yogyakarta:EKONISIA, 2007), 187
[9] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 208
[10] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), 130
[11] Ibid, 136-137
[12] Suad Husnan, Dasar-Dasar Portofolio Dan Analisis Sekuritas, (Yogyakarta : YKPN, 2009),27
[13] Andri, Bank, 137
[14] Abdul Aziz, M.Ag, Manajemen Investasi Syari’ah, (Bandung : Alfabeta, 2010), 25
[15] Yuliana, Investasi, 52
[16] Abdullah Amrin, Meraih Berkan melalui Asuransi Syari’ah ditinjau dari perbandingan dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), 68
[17] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, ( jakarta : indeks, 2009),71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar