Jumat, 25 Oktober 2013

SAHAM SYARIAH



A.    Sejarah Saham Syariah[1]
Secara praktis instrument saham belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau. Pada masa tersebut yang dikenal hanyalah perdagangan barang riil seperti layaknya yang terjadi pada pasar biasa. Pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan pada masa itu belum dinyatakan dalam bentuk saham seperti sekarang. Dengan demikian pada pada masa itu, bukti kepemilikan  dan atau jual beli atas sebuah aset hanya melalui mekanisme jual beli biasa dan belum melalui Initial Public Offering (IPO) dengan saham sebagai instrumennya. Pada saat itu yang terbentuk hanyalah pasar riil biasa yang mengadakan pertukaran barang dengan uang dan pertukaran barang (barter).
Dikarenakan belum adanya pembahasan dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang menyatakan secara jelas dan pasti tentang keberadaan saham maka para ulama berusaha untuk menemukan rumusan kesimpulan hukun tersendiri untuk saham. Usaha tersebut lebih dikenal dengan ijtihad. Meskipun begitu terdapat perbedaan pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum khususnya dalam jual beli. Ada sebagian mereka yang memperbolehkan transaksi jual beli saham ada pula yang tidak membolehkan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kalangan ulama yang memandang kegiatan jual beli saham sebagai kegiatan yang dihalalkan. Para ulama membolehkan jual beli saham mengatakan bahwa saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Para ulama kontemporer yang merekomendasikan perihal tersebut diantaranya Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Zakah halaman 527. Meskipun begitu terdapat aturan dan norma jual beli saham yang perlu tetap mengacu pada pedoman jual beli barang pada umumnya dan sesuai dengan syariah Islam.
Adanya fatwa-fatwa ulama kontemporer tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya jual beli saham. Dalam kumpulan fatwa Dewan Islam Nasional Saudi Arabia yang diketuai oleh Syekh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz jilid 13 bab jual beli halaman 320-321 fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual beli.
Selain fatwa tersebut, fatwa DSN Indonesia juga telah memutuskan akan bolehnya jual beli saham. (Fatwa DSN-MUI No. 40/DSN-MUI/2003). Dalam perkembangannya mulai tahun 2007 Bapepam –LK sudah mengeluarkan daftar efek syariah yang berisis emiten-emiten yang sahamnya sesuai dengan ketentuan Islam berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan No. Kep 325/BI/2007 tentang Daftar Efek Syariah tanggal 12 September 2007 yang berisi 174 saham syariah.
Dalam hal ini, di Indonesia usaha untuk melakukan investasi pada saham syariah diwujudkan dengan adanya index syariah yang saat ini diwakili oleh Jakarta Islamic Index. Index ini sendiri merupakan indeks 30 saham yang sudah mendapatkan pengesahan dari DSN-MUI serta PT Bursa Efek Jakarta (saat itu) dan PT Danareksa Invesment Management. Adapun tujuan dari dikeluarkannya indeks JII adalah sebagai sarana pengukuran akan kinerja saham yang dianggap memiliki basis syariah. Penentuan kriteria dari komponen yang terdapat dalam JII disusun berdasarkan persetujuan dari DSN dan PT. DIM.
Geliat pasar modal syariah di Indonesia dimulai dengan diluncurkannya reksadana syariah untuk pertama kalinya oleh Danareksa Syariah pada tahun 1997, dan disusul kemudian dengan peluncuran indeks syariah, yaitu Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2000. Selanjutnya seiring dengan dikeluarkannya Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang obligasi syariah, PT. Indosat untuk pertama kalinya menerbitkan obligasi syariah dengan tingkat imbal hasil sebesar 16,75%, suatu tingkat return yang cukup tinggi dibandingkan dengan rata-rata return obligasi konvensional pada waktu itu. Obligasi yang diterbitkan PT. Indosat tersebut untuk selanjutnya menjadi pioner penerbitan obligasi syariah di Indonesia.
Dibandingkan dengan beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim, Indonesia tergolong lambat dalam mengembangkan pasar modal syariah, bahkan dibandingkan negara sekuler seperti Amerika. Obligasi syariah pertama yang diterbitkan di dunia adalah obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1983. Indonesia baru menerbitkan obligasi syariah pada tahun 2002. Sebuah rentang waktu yang cukup jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik, seperti Iran dan Kuwait (IOSCO, 2004:27).
Di Indonesia, tonggak awal yang berkaitan dengan pembuatan peraturan pasar modal syariah bisa dikatakan baru dimulai pada tahun 2001, yakni bersamaan dengan dikeluarkannya fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pedoman investasi untuk reksadana syariah. Kemudian diikuti oleh fatwa DSN MUI tahun 2002 tentang obligasi syariah, serta nota kesepahaman Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dengan DSN-MUI tentang pembentukan pasar modal yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Nasarudin dan Surya, 2007:205). 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syarif (2008:38) pada tahun 2007, dari 388 saham emiten yang tercatat di BEI pada bulan November, hanya 164 saham yang sesuai dengan prinsip syariah dan layak untuk ditransaksikan dalam pasar modal syariah. Kesesuaian dalam prinsip tersebut didasarkan kepada produk yang dihasilkan emiten dan transaksi sahamnya di BEI. Sedangkan sisanya 222 saham tergolong haram atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti saham perbankan, consumer product (minuman keras) dan rokok.
Jakarta Islamic Index (JII), yang merupakan benchmark saham syariah di Indonesia terdiri dari 30 saham yang diseleksi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) per semester, tepatnya setiap bulan Januari dan Juni. Sampai akhir tahun 2006, kapitalisasi pasar JII telah mencapai 48 % dari total kapitalisasi saham di BEI. 
Dalam kerangka kegiatan pasar modal syariah, ada beberapa lembaga penting yang secara langsung terlibat dalam kegiatan pengawasan dan perdagangan, yaitu: Bapepam, Dewan Syariah Nasional (DSN), bursa efek, perusahaan efek, emiten, profesi dan lembaga penunjang pasar modal serta pihak terkait lainnya. Khusus untuk kegiatan pengawasan dilakukan bersama oleh BAPEPAM dan DSN. DSN berfungsi sebagai pusat referensi (reference center) atas semua aspek-aspek syariah yang ada dalam kegiatan pasar modal syariah. DSN bertugas memberikan fatwa-fatwa sehubungan dengan kegiatan emisi, perdagangan, pengelolaan portofolio efek-efek syariah, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan efek syariah.
Khusus untuk penentuan saham syariah, selain ketentuan-ketentuan syariah harus terpenuhi, ada ketentuan lain yang ditetapkan DSN dalam menentukan saham mana yang berhak atau tidak berhak masuk indeks syariah (Jakarta Islamic Index). Ketentuan-ketentuan tersebut didasarkan pada (Huda dan Nasution, 2007:56):
1.      Jenis usaha;  jenis usaha utama tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3  bulan (kecuali termasuk ke dalam 10 saham berkapitalisasi besar). 
2.      Laporan keuangan; laporan keuangan tahunan atau semester memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal 90%. 
3.      Kapitalisasi pasar; memilih 60 saham dengan urutan rata-rata kapitalisasi pasar terbesar selama satu tahun terakhir. 
4.      Likuiditas; memilih 30 saham berdasarkan likuiditas nilai perdagangan terbesar selama satu tahun terakhir.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan perkembangan saham syariah yang masuk Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) mengalami peningkatan. Pada 2008 tercatat sebanyak 195 saham, sedangkan akhir 2012 sebanyak 302 atau 62 persen dari seluruh saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu. MUI mengakui telah memberikan enam sertifikat syariah kepada produk syariah pada Juli 2011.[2]
Dewan Syariah MUI Ma'ruf Amin mengatakan, dengan banyaknya produk syariah terutama dengan adanya online trading akan memberikan kemudahan pada umat Islam khususnya, dan secara umum terhadap investasi ke pasar modal. “Industri keuangan terus menunjukan tren dari tahun ke tahun terutama pada pasar modal syariah. Saat ini kita sudah melakukan kerjasama dengan kementerian pariwisata untuk mengembankan wisata syariah," jelasnya, usai launching online trading syariah Mandiri Sekuritas, di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (16/1/2013).
Hal ini, menurutnya sangat menggembirakan karena merupakan salah satu indikator untuk muamalat secara syariah. Tercatat Oktober 2012 keuangan syariah mengalami pertumbuhan sebanyak 28 persen yang berasal dari syariah, sedangkan negara tumbuh 55 persen, yang terdiri dari asuransi perbankan 22 persen, sukuk 1,2 persen dan reksa dana 5,16 persen.
"Kinerja syariah saat ini lebih mengungguli dibandingkan dengan konvensional, sejak diluncurkan saham syariah tumbuh 17,11 persen lebih tinggi dari IHSG pada periode yang sama 12,74 persen," ungkapnya. Namun jika dilihat dari porsi masih terbilang kecil maka perlu upaya yang intensif khususnya stakeholder  untuk lebih meningkatkan pasar modal syariah, salah satunya dengan sosialisasi dan edukasi.
B.     Pengertian Saham Syariah
Istilah saham dapat diartikan sebagai sertifikat penyertaan modal dari seseorang atau badan hukum terhadap suatu perusahaan. Saham merupakan tanda bukti tertulis bagi para investor terhadap kepemilikan suatu perusahaan yang telah go public.[3] Melalui pembelian saham dalam jumlah tertentu, pihak pemegang saham (shareholder) memiliki hak dan kewajiban untuk berbagi hasil dan resiko (profit and loss sharing) dengan para pengusaha, menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan bahkan mengambil alih kepemilikan perusahaan.
Saham adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan tertentu pada perusahaan penerbit saham bersangkutan. Bentuk fisik saham berupa selembar kertas yang menjelaskan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas tersebut. Pemilik saham akan mendapatkan keuntungan dari penyertaannya di perusahaan tersebut, namun hal tersebut sangat tergantug pada perkembangan perusahaan penerbit saham.[4]
Saham (stock) merupakan salah satu instrumen surat berharga yang paling dominan dalam pasar modal. Menerbitkan saham menjadi salah satu pilihan bagi pihak manajemen perusahaan untuk mendapatkan sumber pendanaan. Bagi para pengusaha, keberadaan sumber dana dapat berfungsi sebagai modal untuk mendirikan perusahaan dan atau pengembangan usaha. Sedangkan bagi investor, saham merupakan instrument investasi yang menarik karena keberadaannya dinilai menjanjikan keuntungan tertentu. Keuntungan tersebut biasanya dapat diperoleh dari hasil selisih harga pembelian dengan penjualan saham (capital gain) atau melalui pembagian keuntungan (dividen) dari hasil usaha yang dijalankan oleh perusahaan pada periode tertentu.
Dalam Islam, saham pada hakikatnya merupakan modifikasi sistem persekutuan modal dan kekayaan, yang dalam istilah fiqh dikenal dengan nama syirkah. Pemegang saham dalam syirkah disebut syarik. Pada kenyataannya, bahwa para syarik ada yang sering bepergian sehingga tidak dapat terjun langsung dalam persekutuan. Karenanya, bentuk syirkah dimana para syarik dapat mengalihkan kepemilikannya tanpa sepengetahuan pihak lain disebut syirkah musahamah. Sedangkan bukti kepemilikannya disebut saham.[5]
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal, mendefinisikan saham syariah merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.[6]
Menurut Kurniawan (2008), saham syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam.
Menurut Soemitra, saham syariah merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Akad yang berlangsung dalam saham syariah dapat dilakukan dengan akad mudharabah dan musyarakah.[7]
Pada sistem mudharabah, pihak yang menyetorkan dana tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Investor (mudharib) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada pihak lain. Sementara pada sistem musyarakah, dua atau beberapa pihak bekerja sama saling menyetorkan modalnya. Bagi hasilnya disesuaikan secara proporsional dengan dana yang disetorkan. Dalam musyarakah, pihak-pihak yang terlibat boleh menjadi mitra diam (tidak ikut mengelola) atau menjadi mitra aktif (ikut mengelola perusahaan).[8]
Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara saham yang syariah dengan yang non syariah. Namun saham sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan, dapat dibedakan menurut kegiatan usaha dan tujuan pembelian saham tersebut. Saham menjadi halal (sesuai syariah) jika saham tersebut dikeluarkan oleh perusahaan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang yang halal dan atau dalam niat pembelian saham tersebut adalah untuk investasi, bukan untuk spekulasi. Untuk lebih amannya, saham yang delisting dalam Jakarta Islamic Index (JII) merupakan saham-saham yang insya Allah sesuai syariah. Dikatakan demikian, karena emiten yang terdaftar dalam Jakarta Islamic Index akan selalu mengalami proses penyaringan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.[9]
Pada dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham:
1.      Dividen.
Dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai – artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham  atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut.
2.      Capital Gain
Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham yang dijualnya.[10]
Sebagai instrument investasi, saham memiliki risiko, antara lain:
1.      Capital Loss.
Merupakan kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham lebih rendah dari harga beli. Misalnya saham PT. XYZ yang di beli dengan harga Rp 2.000,- per saham, kemudian harga saham tersebut terus mengalami penurunan hingga mencapai Rp 1.400,- per saham. Karena takut harga saham tersebut akan terus turun, investor menjual pada harga Rp 1.400,- tersebut sehingga mengalami kerugian sebesar Rp 600,- per saham.
2.      Risiko Likuidasi
Perusahaan yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan). Jika masih terdapat sisa dari hasil penjualan kekayaan perusahaan tersebut, maka sisa tersebut dibagi secara proporsional kepada seluruh pemegang saham. Namun jika tidak terdapat sisa kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari likuidasi tersebut. Kondisi ini merupakan risiko yang terberat dari pemegang saham. Untuk itu seorang pemegang saham dituntut untuk secara terus menerus mengikuti perkembangan perusahaan.
Sedangkan risiko dari investasi pada saham biasa adalah:[11]
1.      Kemungkinan tidak mendapatkan dividen, bila operasional perusahaan yang menerbitkan saham mengalami kerugian.
2.      Adanya kemungkinan capital loss, karena melakukan penjualan saham dengan harga yang akhirnya lebih rendah dari harga beli sahamnya.
3.      Kemungkinan perusahaan penerbit saham mengalami kebangkrutan atau dilikuidasi, yang mengakibatkan perusahaan tersebut dihapuskan dari papan perdagangan di Bursa Efek.
4.      Perdagangan saham dihentikan secara sementara, disuspensi yang menyebabkan pihak investor bisa untuk sementara tidak melakukan aksi jual dan beli saham.

C.    Jenis-Jenis Saham
Pada umumnya saham yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum (Initial Public Offering) ada dua macam, yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa (preferred stock). Perbedaan saham ini berdasarkan pada hak yang melekat pada saham tersebut. Hak tersebut meliputi hak atas menerima dividen, dan memperoleh bagian kekayaan jika perusahaan dilikuidasi setelah dikurangi semua kewajiban-kewajiban perusahaan. Adapun ciri-ciri saham istimewa selengkapnya sebagai berikut:[12]
1.      Hak utama atas dividen, artinya saham istimewa mempunyai hak terlebih dahulu dalam hal menerima dividen.
2.      Hak utama atas aktiva perusahaan, artinya dalam hak likuidasi berhak menerima pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham istimewa setelah semua kewajiban perusahaan dilunasi.
3.      Penghasilan tetap, artinya pemegang saham istimewa memperoleh penghasilan dalam jumlah yang tetap.
4.      Jangka waktu yang tidak terbatas, saham istimewa yang diterbitkan mempunyai jangka waktu yang tidak terbatas, akan tetapi dengan syarat bahwa perusahaan mempunyai hak untuk membeli kembali saham istimewa tersebut dengan harga tertentu.
5.      Tidak memiliki hak suara, artinya pemegang saham istimewa tidak mempunyai suara dalam RUPS.
6.      Saham istimewa kumulatif, artinya dividen yang tidak dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham tetap menjadi hak pemegang saham istimewa tersebut. Jika suatu perusahaan tidak membagikan dividen, maka perusahaan harus membayarkan dividen terutang tersebut sebelum membagikannya kepada pemegang saham biasa.
Selain dari saham biasa dan istimewa, saham memiliki macam dan jenis yang cukup beragam, berikut adalah tipe macam saham:[13]
1.      Saham yang dicap (assented shares), penyetempelan saham dapat terjadi dalam hal perseroan mengalami kerugian besar, yang tidak dapat dihapuskan dari cadangan perseroan. Jika terjadi hal demikian perseroan harus mengadakan perubahan pada anggaran dasar perseroan, dengan menurunkan nilai nominal dari sahamnya menjadi sama dengan kekayaan (equity) dan dari nilai nominal sahamnya diturunkan secara proporsional.
2.      Saham tukar, yaitu jenis saham yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan jenis saham lain, biasanya saham preferen dengan saham biasa.
3.      Saham tanpa suara, yaitu jenis saham yang pemiliknya tidak diberi hak suara pada RUPS.
4.      Saham tanpa pari, yaitu saham yang tidak memiliki nilai nominal atau pari, tetapi hak pemilikannya dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh kekayaan dan kemudian dibagi dengan jumlah saham yang dikeluarkan.
5.      Saham preferen unggul, yaitu saham preferen yang hak prioritasnya lebih besar dari preferen lain.
6.      Saham preferen tukar, yaitu saham preferen yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan saham biasa.
7.      Saham preferen partisipasi, yaitu saham yang disamping hak prioritasnya masih dapat turut serta dalam pembagian dividen selanjutnya.
8.      Saham preferen kumulatif, yaitu saham preferen yang memberikan hak untuk mendapatkan dividen yang belum dibayarkan pada tahun-tahun yang lalu secara kumulatif.
9.      Saham pendiri, yaitu jasa yang diberikan oleh perusahaan, baik berupa penyertaan modal yang bersumberkan dari penarikan beberapa peserta lainnya atau dari relasi penting lain, biasanya dihargai perseroan dengan memberikan kepada yang bersangkutan (memiliki saham).
10.  Saham pegawai, yaitu kesempatan yang diberikan oleh perseroan kepada para pegawainya untuk memiliki saham perusahaan.
11.  Saham bonus, pada saat perbandingan antara cadangan dan saham modal yang tidak berimbang pada suatu perseroan dapat dihilangkan dengan jalan memberikan saham bonus kepada para pemegang saham dengan cuma-cuma.
Secara umum saham yang beredar pada Bursa Efek Jakarta dapat ditinjau dari beberapa segi:[14]
1.      Ditinjau dari segi bentuknya saham dapat dikategorikan atas:
·         Saham atas nama, yaitu saham yang menyebut nama pemiliknya. Pencatatan saham ini dicatat dalam daftar khusus. Para ahli fikih kontemporer yang menghalalkan saham jenis ini sependapat bahwa penyebutan nama pemilik saham pada dokumen saham menetapkan kepemilikan pemiliknya dan memberikan perlindungan atas haknya. Hal ini berarti saham jenis ini diperbolehkan secara fikih Islam (Ibrahim, 2003).
·         Saham atas unjuk, yaitu saham yang tidak menyebut nama pemiliknya. Ada ahli fikih kontemporer memandang saham ini batal. Karena ketidaktahuan siapa pembelinya. Ketidaktahuan ini akan melenyapkan hak pemiliknya. Bagaimanapun juga, saham seperti ini dihindari karena akan menimbulkan problema tentang kepemilikannya atau pemulangannya kembali apabila hilang (Ibrahim. 2003).
2.      Dari segi hak dan keistimewaannya:
·         Saham biasa, semua ahli fikih kontemporer memandang saham biasa boleh, karena tidak memiliki keistimewaan dari yang lain, baik hak maupun kewajibannya (Ibrahim, 2003).
·         Saham preferen, saham ini memiliki keistimewaan khusus dari segi perlakuan maupun dari segi finansial. Para ahli fikih kontemporer memandang saham jenis ini harus dihindari karena tidak sesuai dengan ketentuan secara Islam, karena pemilik saham ini mempunyai hak mendapatkan bagian dari kelebihan yang dapat dibagikan sebelum dibagikan kepada pemilik saham biasa (Ibrahim, 2003). Konsep preferred stock atau saham istimewa tidak diperbolehkan secara Islam karena dua alasan yang dapat diterima secara konsep Islam, dua alasan tersebut adalah:
a.       Adanya keuntungan tetap, yang dikategorikan oleh kalangan ulama sebagai riba.
b.      Pemilik saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat perusahaan dilikuidasi. Hak tersebut dianggap mengandung unsur ketidakadilan.

D.    Karakteristik Saham Syariah
Data saham merupakan bagian dari Daftar Efek Syariah (DES) yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK. Terdapat beberapa pendekatan untuk menyeleksi suatu saham apakah bisa dikategorikan sebagai saham syariah atau tidak, yaitu:[15]
1.      Pendekatan jual beli. Dalam pendekatan ini diasumsikan saham adalah asset dan dalam jual beli ada pertukaran asset ini dengan uang. Juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja sama yang memakai prinsip bagi hasil (profit-loss sharing).
2.      Pendekatan aktivitas keuangan atau produksi. Dengan menggunakan pendekatan produksi ini, sebuah saham bisa diklaim sebagai saham yang halal ketika produksi dari barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan bebas dari element-element yang haram yang secara eksplisit disebut di dalam Al-Quran seperti riba, judi, minuman yang memabukkan, zina, babi dan semua turunan-turunannya.
3.      Pendekatan pendapatan. Metode ini lebih melihat pada pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut. Ketika ada pendapatan yang diperoleh dari bunga (interest) maka secara umum kita bisa mengatakan bahwa saham perusahaan tersebut tidak syariah karena masih ada unsur riba disana. Oleh karena itu seluruh pendapatan yang didapat oleh perusahaan harus terhindar dan bebas dari bunga atau interest.
4.      Pendekatan struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Dengan melihat ratio hutang terhadap modal atau yang lebih dikenal dengan debt/equity ratio. Dengan melihat ratio ini maka diketahui jumlah hutang yang digunakan untuk modal atas perusahaan ini. Semakin besar ratio ini semakin besar ketergantungan modal terhadap hutang. Akan tetapi untuk saat ini bagi perusahan agak sulit untuk membuat rasio ini nol, atau sama sekali tidak ada hutang atas modal. Oleh karena itu ada toleransi-toleransi atau batasan seberapa besar “Debt to Equity ratio“ ini. Dan masing masing syariah indeks di dunia berbeda dalam penetapan hal ini. Namun secara keseluruhan kurang dari 45% bisa diklaim sebagai perusahaan yang memiliki saham syariah.
Kriteria saham-saham yang masuk dalam indeks syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 20 adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti:[16]
1.      Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2.      Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3.      Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
4.      Usaha yang memproduksi, mendistribusi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Selain kriteria di atas, kriteria emiten dilihat dari resiko keuangannya yang termasuk dalam investasi Islami berdasarkan fatwa DSN adalah sebagai berikut:[17]
1.      Perusahaan yang mendapatkan dana pembiayaan atau sumber dana dari utang tidak lebih dari 30% dari rasio modalnya.
2.      Pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan tidak lebih dari 15%. Dalam Islam, barang haram dengan halal tidak dapat dicampuradukkan.
3.      Perusahaan yang memiliki aktiva kas atau piutang yang jumlah piutang dagangnya atau total piutangnya tidak lebih dari 50%.
Dengan mengacu pada proses seleksi yang dilakukan terhadap saham-saham yang tercatat pada JII, terlihat bahwa saham-saham JII tidak hanya sesuai dengan kriteria syariah tetapi juga merupakan saham-saham pilihan.[18]
Karena proses penyaringan yang ketat, tidak jarang emiten-emiten yang masuk kategori blue chip ditolak masuk JII. Contohnya adalah saham Gudang Garam dan H. M Smpoerna, meskipun kedua perusahaan rokok ternama ini memiliki nilai kapitalisasi yang besar (mencapai 17-20 % dari total kapitalisasi pasar BEJ). Ia tidak lolos uji syariah karena tergolong usaha produk barang yang bersifat mudarat.[19]

E.     Mekanisme Investasi Saham Syariah
Hukum investasi pada saham secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip dasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatangani nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional  Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli saham. Para ahli fiqih berpendapat bahwa suatu saham dapat dikategorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang dilarang dalam syariah Islam, seperti alkohol, perjudian, pornografi, jasa keuangan yang bersifat konvensional, asuransi yang bersifat konvensional.[20]
Transaksi surat berharga syariah yang dilarang:[21]
1.      Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi gambling (maisir) yang di dalamnya mengandung unsur gharar, masir, dan riba.
2.      Tidakan yang dimaksud diatas meliputi:
a.       Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu.
b.      Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling).
c.       Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperolah keuntungan transaksi yang dilarang.
d.      Menyebarluaskan informasi yang menyesatkan untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang.
3.      Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi, tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.
4.      Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman atas kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut.
5.      Ihtikar (penumpukan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah  untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.

F.     Proses Pengambilan Keputusan Investasi Dalam Saham
Dalam melakukan invesasi pihak investor akan mempertimbangkan banyak hal. Baik itu menyangkut kinerja perusahaan ataupun perhitungan secara matematis mengenai tingkat return dan risk masing- masing saham. Dengan mempertimbangkan dilarangnya kita untuk melakukan transaksi secara sembarangan (gharar), perlu dilakukan suatu analisis yang cukup terhadap masing-masing saham. Ada dua macam tipe pemain saham menurut Subekti, yaitu investor dan spekulan. Investor melakukan investasi jangka panjang dan berbasis fundamental perusahaan, sedangkan spekulan berbasis pada pergerakan harga dalam jangka waktu yang pendek. Tentunya hal-hal yang berbau spekulasi sangat dilarang dalam syariah Islam, karena sama dengan judi.[22] 
Pada dasarnya para investor memiliki berbagai cara untuk mengembangkan modal yang mereka miliki pada industri pasar modal. Hal ini berarti dalam berinvestasi pada suatu saham, pihak investor tidaklah terpaku pada satu cara saja untuk melakukan investasi. Banyak cara yang bisa dikombinasikan agar suatu investasi menjadi menguntungkan. Strategi investasi ini sangat bergantung pada karakteristik dari pihak investor. Hal yang sama juga dapat terjadi pada investasi saham syariah dalam pasar modal syariah. Adapun karakteristik dari investor adalah:[23]
1.      Investor bersifat risk averse. Investor jenis ini merupakan investor yang sangat khawatir akan risiko investasinya. Investor dengan jenis ini biasanya akan memilih investasi yang rendah walaupun dengan tingkat resiko keuntungan yang kecil.
2.      Investor bersifat risk medium. Investor jenis ini biasanya akan melihat resiko investasi yang dihadapinya secara proporsional. Mereka akan melakukan investasi dengan tingkat resiko yang sedang dan dengan harapan akan mendapatkan keuntungan tertentu.
3.      Investor bersifat risk taker. Investor jenis ini merupakan tipikal investor yang berani mengambil resiko. Mereka akan memilih model investasi dengan investasi yang diperkirakan akan menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi serta tidak memedulikan konsekuensi resiko yang dihadapi olehnya.

Adapun pedoman yang perlu dilakukan ketika seorang investor akan memilih saham adalah:[24]
1.      Memilih saham yang memiliki nilai undervalued, atau nilai saham lebih tinggi dari harga saham terssebut. Saham jenis ini akan lebih memberikan kesempatan sebagai pemenang dalam kegiatan investasi dan lebih kecil tingkat resikonya dibandingkan saham yang overvalued.
2.      Memilih saham yang aman untuk ditransaksikan. Jangan memilih saham yang harganya mudah naik dan turun, sehingga sebagai seorang investor kita disarankan untuk memilih saham yang tingkat fluktuasinya rendah dan juga memiliki harga yang stabil.
3.      Investor sebaiknya memilih saham yang harganya sedang naik. Hal ini merupakan strategi yang paling baik. Jadi bukan dengan strategi membeli saham dengan harga yang rendah.

Sedangkan menurut Tandelilin ada lima tahap dasar dalam melakukan investasi sebagaimana berikut:[25]
1.      Menetapkan tujuan investasi.
Tahap pertama dalam proses keputusan investasi adalah menentukan tujuan investasi yang akan dilakukan. Tujuan investasi masing-masing investor bisa berbeda-beda tergantung pada investor yang membuat keputusan tersebut. Misalnya bagi institusi penyimpanan dana seperti bank misalnya, mempunyai tujuan untuk memperoleh return yang lebih tinggi diatas biaya investasi yang dikeluarkan. Biasanya mereka lebih menyukai investasi pada sekuritas yang mudah diperdagangkan ataupun pada penyaluran kredit yang lebih berisiko tetapi memberikan return yang tinggi.
2.      Penentuan kebijakan investasi.
Tahap kedua ini merupakan tahap penentuan kebijakan untuk memenuhi tujuan investasi yang telah ditetapkan. Tahap ini dimulai dengan keputusan alokasi asset. Keputusan ini menyangkut pendistribusian dana yang dimiliki pada berbagai klas-klas asset yang tersedia (saham, obligasi, real estate ataupun sekuritas luar negeri). Investor juga harus memperhatikan berbagai batasan yang mempengaruhi kebijakan investasi seperti seberapa besar dana yang dimiliki dan porsi pendistribusian dana tersebut serta beban pajak dan pelaporan yang harus ditanggung.
3.      Pemilihan strategi portofolio.
Strategi portofolio yang dipilih harus konsisten dengan dua tahap sebelumnya. Ada dua strategi portofolio yang bisa dipilih, yaitu strategi portofolio aktif dan strategi portofolio pasif. Strategi portofolio aktif meliputi kegiatan penggunaan informasi yang tersedia dan teknik-teknik peramalan secara aktif untuk mencari kombinasi portofolio yang lebih baik. Strategi portofolio pasif meliputi aktivitas investasi pada portofolio yang seiring dengan kinerja indeks pasar. Asumsi strategi pasif ini adalah  bahwa semua informasi yang tersedia, diserap pasar dan direfleksikan pada harga saham.
4.      Pemilihan asset.
Setelah tahap pemilihan strategi portofolio selesai dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pemilihan asset yang akan dimasukkan dalam portofolio. Tahap ini memerlukan pengevaluasian setiap sekuritas yang ingin dimasukkan dalam portofolio. Tujuannya, untuk mencari kombinasi yang efisien, yaitu portofolio yang menawarkan return diharapkan tertinggi dengan tingkat resiko tertentu atau sebaliknya menawarkan return diharapkan tertentu dengan tingkat resiko terendah.
5.      Pengukuran dan evaluasi kinerja portofolio.
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari proses keputusan investasi, namun jika dalam tahap pengukuran dan evaluasi kinerja telah dilewati dan ternyata hasilnya kurang baik, maka proses pengambilan keputusan investasi harus dimulai lagi dari tahap pertama. Sehingga akan dicapai keputusan investasi yang paling optimal. Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja ini meliputi pengukuran kinerja portofolio dan membandingkan hasil pengukuran tersebut dengan kinerja portofolio lainnya melalui proses benchmarking. Proses benchmarking ini biasa dilakukan terhadap indeks pasar, untuk mengetahui seberapa baik kinerja portofolio yang telah ditentukan dibandingkan kinerja portofolio lainnya.
Menurut Sharpe (2005 : 10-13) proses investasi menunjukkan bagaimana seharusnya seorang investor membuat keputusan investasi sekuritas yang bisa dipasarkan, seberapa ekstensif dan kapan sebaiknya dilakukan. Untuk mengambil keputusan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Penentuan Kebijakan Investasi
Langkah pertama, menentukan kebijakan investasi, meliputi penentuan tujuan investor dan dan banyaknya kekayaan yang dapat diinvestasikan. Karena terdapat hubungan positif antara risiko dan return untuk strategi investasi, bukan suatu hal yang tepat bagi seorang investor untuk berkata bahwa tujuannya adalah “memperoleh banyak keuntungan”. Yang tepat bagi seorang investor dalam kondisi seperti ini adalah menyatakan tujuannya untuk memperoleh banyak keuntungan dengan memahami bahwa ada kemungkinan terjadinya kerugian. Tujuan investasi seharusnya dinyatakan dalam risiko maupun return.
2.       Melakukan Analisis Sekuritas
Langkah kedua dalam proses investasi adalah melakukan analisis sekuritas, yang meliputi penelitian terhadap sekuritas secara individual (atau beberapa kelompok sekuritas) yang masuk ke dalam katagori luas aset keuangan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Salah satu tujuan melakukan penilaian tersebut adalah untuk mengidentifikasi sekuritas yang salah harga (mispriced).
Ada banyak pendekatan terhadap analisis sekuritas, namun pendekatan tersebut dapat dikatagorikan ke dalam dua klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah analisis teknikal, analisis yang memakai pendekatan ini untuk analisis sekuritas disebut analisis teknis atau analisis teknikal. Klasifikasi kedua disebut analisis fundamental.
3.      Membentuk Portofolio
Langkah ketiga dalam proses investasi, pembentukkan (penyusunan) portofolio, melibatkan identifikasi aset–aset khusus mana yang akan dijadikan investasi, juga menentukan besarnya bagian kekayaan investor yang akan diinvestasikan ke tiap aset tersebut. Di sini masalah selektifitas, penentuan waktu dan diversifikasi perlu menjadi perhatian bagi investor.
4.      Merevisi Portofolio
Langkah keempat dalam proses investasi, revisi portofolio, berkenaan dengan pengulangan periodic dari tiga langkah sebelumnya. Yaitu, dari waktu ke waktu, investor mungkin mengubah tujuan investasinya, yang pada gilirannya berarti portofolio yang dipegangnya tidak lagi optimal. Oleh karena itu, investor membentuk portofolio baru dengan menjual portofolio yang dimilikinya dan membeli portofolio lain yang belum dimiliki.
5.      Mengevaluasi Kinerja Portofolio
Langkah kelima dalam proses investasi, evaluasi kinerja portofolio, meliputi penentuan kinerja portofolio secara periodic, tidak hanya berdasarkan return yang dihasilkan tetapi juga risiko yang dihadapi investor. Jadi diperlukan ukuran yang tepat tentang return dan risiko dan juga standar (benchmark) yang relevan.
Dari pemaparan diatas pada dasarnya tujuan investasi adalah untuk menghasilkan sejumlah uang. Tujuan investasi yang lebih luas sebenarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan investor. Kesejahteraan dalam hal ini adalah kesejahteraan moneter, yang biasa diukur dengan penjumlahan pendapatan saat ini ditambah nilai pendapatan di masa datang.

G.    Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Fluktuasi Harga Saham
Harga saham selalu mengalami perubahan setiap harinya. Oleh karena itu, investor harus mampu memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi harga saham. Faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga saham dapat berasal dari internal maupun eksternal.[26]
Adapun faktor internalnya antara lain adalah laba perusahaan, pertumbuhan aktiva tahunan, likuiditas, nilai kekayaan total, dan penjualan. Sementara itu, faktor eksternalnya adalah kebijakan pemerintah dan dampaknya, pergerakan suku bunga, fluktuasi nilai tukar mata uang, rumor dan sentiment pasar, dan penggabungan usaha (Business Combination). Pada umumnya saham yang diterbitkannya oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum ada dua macam yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa (preferred stock).  





[1] Mohammad Heykal. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 42-44
[3] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 135
[4] Ade Arthesa dan Edia Handiman. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (Jakarta: Indeks. 2009), 229
[5] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 135-136
[7] Andri Soemitra. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana. 2009), 138
[8] Nafik HR, Muhammad. Bursa Efek dan Investasi Syariah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2009), 245
[9] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 136
[11] Mohammad Heykal, Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah (Jakarta: Elex Media Komputindo. 2012), 41
[12] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi Pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana. 2007), 59-60
[13]Nurul Huda dan Moh Heykal. Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Kencana. 2010) , 228-229
[14] Ibid, 229-231
[16] Indah Yuliana.  Investasi Produk Keuangan Syariah. (Malang: UIN Maliki Press. 2010), 83
[17] Ibid, 84
[18] Edwin Nasution, Mustafa, et.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana. 2007), 308
[19] Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid. Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim. 2008), 146
[20]Indah Yuliana.  Investasi Produk Keuangan Syariah. (Malang: UIN Maliki Press. 2010), 103
[21] Ibid, 103-104
[22] Indah Yuliana.  Investasi Produk Keuangan Syariah  (Malang: UIN Maliki Press. 2010), 61
[23] Mohammad Heykal. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 50
[24] Ibid, 51
[25] Eduardus Tandelilin. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio (Yogyakarta: BPFE. 2001), 67
[26]Indah Yuliana.  Investasi Produk Keuangan Syariah. (Malang: UIN Maliki Press. 2010) , 61