Sabtu, 08 Desember 2012

al - Wadi'ah


A.    Pengertian Al-Wadi’ah
Secara etimologi, wadi’ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Secara terminologi, wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa Al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendakinya.[1]

B.     Dasar Hukum Al-Wadi’ah
1.         Al-Quran
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& ....
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya....” (An-Nisaa’ :58)

÷bÎ*sù.... z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 ...
“....jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya...” (Al-Baqarah: 283)
2.         Al-Hadist
اَدَّالاَمَا نَةَ اِلَي مَنْ اِئْتَمَنَكَ وَلَاتَخَنُ مَنْ خَا نَك                   


Artinya :
 “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud)
3.         Ijma
Para tokoh ulama Islam jalan telah melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi al-wadiah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.[2]
C.      Rukun dan Syarat Al-Wadi’ah
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya titipkan sepeda ini pada engkau”), dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti, “saya terima titipan sepeda anda ini”).[3]
Akan tetapi, jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al-wadi’ah ada tiga, yaitu: (a) orang yang berakad, (b) barang titipan, dan (c) sighat ijab dan qabul.
Sedangkan dalam syarat, ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah harus orang yang berakal. Mereka tidak mensyaratkan baligh dalam persoalan al-wadi’ah. Akan tetapi, anak kecil yang belum berakal atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya, (seperti orang gila) tidak sah dalam melakukan akad al-wadi’ah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah disyaratkan telah baligh, berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil sekalipun telah berakal tidak dibenarkan melakukan transaksi al-wadi’ah, baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima titipan barang.[4]
Syarat kedua akad al-wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai (al-qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara. Apabila seseorang menitipkan ikan yang ada di laut atau di sungai, sekalipun ditentukan jenis, jumlah dan identitasnya, hukumnya tidak sah, karena ikan tersebut tidak dapat dikuasai oleh orang yang dititipi. Menurut para ulama fiqh, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini dianggap penting karena terkait erat dengan masalah kerusakan barang titipan yang mungkin akan timbul atau barang itu hilang selama dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi, apabila hilang atau rusak, maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.[5]
D.     Macam-macam Al-Wadi’ah
                        Al-Wadi’ah terbagi menjadi dua, yaitu :[6]
1.      Al-Wadi’ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)
              Wadi’ah jenis ini memiliki karekteristik sebagai berikut:
a.       Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b.      Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c.       Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d.      Mengingat barang atau harta yang tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau save deposit box.


2.      Al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)[7]
              Wadi’ah jenis ini memiliki karekteristik sebagai berikut:
a.       Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
b.      Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
c.       Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
d.      Bank konvensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun pada bank syariah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
e.       Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
f.       Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.

E.     Sifat Akad Al-Wadi’ah
Dilihat dari segi sifat akad al-wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad al-wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat al-wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggungjawab untuk memelihara barang titipan tersebut. Namun demikian, apakah tanggungjawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti rugi (adh-dhaman). Dalam kaitan dengan ini, para ulama fiqh sepakat menyataan bahwa status  al-wadi’ah ditangan orang yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman, sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggungjawab orang yang dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan dengan sengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi.
Alasan mereka adalah dari sabda Rasulullah Saw, yang artinya: “Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi”. (HR. al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Berdasarkan hadist-hadist ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad al-wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad al-wadi’ah  adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan itu.[8]
F.     Perubahan Akad Al-Wadi’ah dari Amanah Menjadi Adh-Dhaman
Berkaitan dengan sifat akad al-wadi’ah  sebagai akad yang bersifat amanah, yang imbalannya hanya mengaharap ridho dari Allah Swt, para ulama fiqh juga membahas kemungkinan perubahan sifat akad al-wadi’ah dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman (ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini, antara lain :
1.      Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).[9]
2.      Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggungjawabnya. Apabila barang itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini orang yang dititipi dikenakan ganti rugi.[10]
3.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Dalam kaitan ini para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila orang yang dititipi barang itu menggunakan barang titipan dan setelah ia gunakan barang itu kemudian rusak, maka orang yang dititipi wajib membayar ganti rugi.
4.      Orang yang dititipi al-wadi’ah mengingkari al-wadi’ah itu. Apabila pemilik barang meminta kembali barang titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang yang disebut terakhir itu mengingkarinya atau ia sembunyikan, sedangkan ia mampu untuk mengembalikannya, maka ia dikenakan ganti rugi.

G.    Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Bagi bank konvensional, selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk “menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi, cadangan, dan investasi.[11] Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Salah satu prinsip yang digunakan dalam bank syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip itu ialah al-wadi’ah. Al-wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam perbankan syariah, secara umum al-wadi’ah terdapat dua jenis. Yaitu, Al-Wadi’ah Yad al-Amanah dan Al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah.[12]
        Skema Al-Wadi’ah Yad al-Amanah
1. Oval: BANK
Mustawda’ (Penyimpan)Oval: NASABAH
Muwaddi’ (Penitip)Titip Barang        
                                                                                                   
  
2. Bebankan Biaya Penitipan
                           


                            Keterangan :
Dengan konsep al-Wadi’ah Yad al-Amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
 Skema Al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah
1. Oval: BANK
Mustawda’ (Penyimpan)Oval: NASABAH
Muwaddi’ (Penitip)Titip Dana          
                                                                                                   
 
4. Beri Bonus
                                                                            Oval: USER OF
FUND
 (Nasabah Pengguna Dana)                                                         2. Pemanfaatan
                                                                                                                                                                                     Dana
3. Bagi Hasil            



                 Keterangan :
Dengan konsep al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah,  pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk  bonus.
Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalannya, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas lainnya.
Sungguhpun demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah Saw pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah Saw memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah Saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.” Rasulullah Saw berkata, “Berikanlah itu, karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR. Muslim)[13]
Dari semangat hadist diatas, jelaslah bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga, baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy (kebijakan perbankan) dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.
Adapun perbedaan antara jasa giro dan bonus atau athaya,  sebagaimana tabel dibawah ini.
            Perbedaan Antara Jasa Giro dan Bonus
NO
JASA GIRO
BONUS (ATHAYA)
1.
Diperjanjikan
Tidak diperjanjikan
2.
Disebutkan dalam akad
Benar-benar merupakan budi baik bank
3.
Ditentukan dalam persentase yang tetap
Ditentukan sesuai dengan keuntungan riil bank




[1] Sayyid Sabiq, “Fiqhus Sunnah”, (Beirut: Darut-Kitab al-Arabi), 1987, hal:3.
[2] Jihad Abdullah Husain Abu Uwaimir, “at-Tarsyid Asysyari lil-Bunuk al-Qaimah”, (Kairo: al-Ittihad ad-Dauli lil-Bunuk al-Islamiah), 1986.
[3] Imam al-Kasani, “al-Bada’I’u ash-Shana’I’u”, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid VI, hal: 207.
[4] Al-Bahuti, “Kasysyaf al-Qina”, (Beirut: Maktabah al-Amiriyah), Jilid IV, 1982, hal:229.
[5] Ibnu abidin, “Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar”, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid V, 1978, hlm:516
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”, (Jakarta: Gema Insani), 2001, hal: 148-150.
[7] Bank Islam Malaysia Berhad, “Islamic Banking Practice From The Practitioner’s Perspective”, (Kuala Lumpur: BIMB), 1994.
[8] Ibnu Qudamah, “al-Mughni”, (Riyadh: Maktabah ar-Roiyadh al-Hadist), jilid V, hal: 382.
[9] As-Sarakhsi, “al-Mabsuth”, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid XI, hal: 113.
[10] Imam al-Kasani, “al-Bada’I’u ash-Shana’I’u”… hal: 208.

[11] John M. Keynes, “The General Theory of Employment, Interest and Money”, (New York: Harcourt Brace) 1936.
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”… hal: 148-150.

[13] Muhammad Syafi’i Antonio, “Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”… hal: 88.