A.
Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut etimologi
diambil dari kata ‘Ara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling
menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.[1]
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya,
antara lain :
a.
Menurut ulama Hanafiah, ‘Ariyah adalah kepemilikan atas manfaat
tanpa disertai dengan imbalan.[2]
b.
Menurut Syafi’iyah dan
Hambaliyah, ‘Ariyah adalah pembolehan
untuk mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela
dengan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih utuh.[3]
Jadi dapat kita simpulkan, ‘Ariyah adalah
sesuatu yang diberikan kepada orang
lain, sehingga orang tersebut dapat memanfaatkannya hingga waktu tertentu
kemudian dikembalikan kepada
pemiliknya. Contohnya, si A meminjam
bulpoin kepada si B.
B.
Landasan Hukum‘Ariyah dianjurkan
dalam Islam.
Hal
tersebut didasarkan pada :
b.
As-Sunnah dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau
mengendarainya.[5]
Dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud
ﻭﻋﻦﺼﻔﻮﺍﻦﺒﻦﺃﻣﻳﺔﺃﻦﺍﻠﻨﺒﻲﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻳﻪﻮﺴﻠﻢﺍﺴﺘﻌﺎﺮﻤﻨﻪﻳﻮﻢﺤﻨﻳﻦﺃﺪﺮﻋﺎﻔﻘﺎﻞﺃﻏﺻﺒﺎﻳﺎﻤﺤﻤﺪﻘﺎﻞ ﺒﻞﻋﺎﺮﻳﺔﻤﻀﻤﻮﻨﺔﻘﺎﻞﻔﻀﺎﻉﺒﻌﻀﻬﺎﻔﻌﺮﺽﻋﻠﻴﻪﺍﻠﻨﺒﻲﺻﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﺃﻦﻴﺿﻤﻨﻬﺎﻠﻪﻔﻘﺎﻞﺃﻨﺎﺍﻠﻴﻮﻢ ﻔﻲﺃﻹﺴﻼﻢﺃﺮﻏﺐ
Dari Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa
Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai
dari Shafwan Ibn Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan
bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya, Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma
meminjam dan aku bertanggung-jawab.”
Dan hukum ‘Ariyah
menurut QS. Al-Maidah:2 adalah Sunnah.[6]
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur yôolù;$# wur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6t WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4 wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.
C.
Rukun dan Syarat.
a.
Rukun ‘Ariyah Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rukun ‘Aariyah hanyalah Ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan Qabul bukan merupakan rukun ‘Aariyah. Menurut Ulama
Syafi’iyah, dalam ‘Aariyah
disyaratkan adanya lafadz shighat
akad, yakni ucapan ijab qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi, sebab
memanfaatkan milik barang tergantung pada adanya izin. Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakkan bahwa
rukun‘Aariyah ada empat, yaitu:
1.
Mu’ir (peminjam)
2.
Musta’ir (yang meminjamkan)
3.
Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
4.
Shighat (sesuatu yang
menujukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan)[7]
b.Syarat.
Ulama
fiqih mensyaratkan dalam akad ‘Aariyah
sebagai berikut:[8]
1.
Mu’ir berakal sehat, ‘Aariyah tidak akan sah jika dilakukan olehorang gila dan
anak kecil yang tidak berakal.
2.
Orang yang meminjam harus
orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum karena
orang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab itu anak kecil,
orang gila, dungu, tidak boleh mengadakan akad ‘ariyah.
3.
Barang yang dipinjamkan
harus secara langsung dikuasai oleh pemimjam, yang dianggap sah memegang barang adalah
peminjam, transaksi dalam berbuat kebaikan.
4.
Harus ada serah terima
dari musta’ir karena akad ‘Ariyah merupakan akad tabarru’,
maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah terima.
5.
Musta’ar harus milik sendiri. Bisa
dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisik yang ada. Bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan
minuman.[9]
Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ‘Aariyah diperbolehkan atas barang-barang yang bisa
dimanfaaatkan tanpa harus merusak dzat atau barang yang digunakan seperti rumah,
pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.[10]
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Diharamkan meminjamkan Al-Qur’an atau yang berkaitan dengan Al-Qur’an kepada orang kafir. Diharamkan juga meminjamkan alat berburu kepada orang
yang sedang ihram.[11]
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam
telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila
salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam
dapat diminta kembali sewaktu-waktu,
karena pinjam-meminjam bukanmerupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang
meminjamkan dan yang meminjam barang
tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya,
yaitu belum dikembalikan.[12]
D.
Hukum dan Sifat
Dalam
‘Aariyah, hukumnya bisa menjadi
wajib, misalnya bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat
dibutuhkan kepada saudara seagamanya yang tidak membutuhkannya. Diantara
hukum-hukum ‘Aariyah adalah sebagai
berikut:
1.
Sesuatu yang dipinjamkan
harus sesuatu yang mubah. QS. Al-Maidah:2, “Dan
janganlah kalian tolong menolong pada perbuatan dosa dan permusuhan
(pelanggaran)”.
2.
Jika mu’ir mensyaratkan bahwa musta’ir
berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya,
karena Rasul SAW bersabda, “Kaum muslimin
itu berdasarkan syarat-syarat mereka”. (HR.Abu Dawud dan Al-Hakim).
Sifat ‘Aariyah:
1.
Musta’ir harus menanggung biaya
pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut
tidak bisa diangkut, kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi.
2.
Musta’ir tidak boleh menyewakan
barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya pada orang lain, maka
tidak apa-apa jika mu’ir mengizinkan.
3.
Musta’ir merawat barang pinjaman
dengan baik. Rasulullah SAW bersabda : "Kewajiban
meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia
kembalikan barang itu". (HR. Ahmad). [13]
4.
Jika seseorang meminjam
kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta
pengembalian kebun tersebut hingga temboknya roboh. Begitu juga orang
yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh
meminta pengembangan sawah tersebut hingga tanaman yang ada di
atasnya telah dipanen, karena menimbulkan madlarat kepada sesama muslim itu
haram.
5.
Barang siapa meminjamkan sesuatu
hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta
pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.[14]
E.
Aplikasi
‘Ariyah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Aplikasi ‘Aariyah
dalam lembaga keuangan syariah dinamakan ‘Aariyah atau I’aarah. Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan di atas akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti
bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya, meski bank tersebut
berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan ‘Aariyah secara murni syariah. Bank
syariah masih menggunakan sistem bunga namun menggunakan istilah yang berbeda.
[2] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta : AMZAH, 2010). Hlm. 467
[3] ibid
[6] Ismail Nawawi,ibid.,Hlm. 103
[7]Syafei,ibid.
Hlm. 141
[8] Abdul Rahman
Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat.(Jakarta :
Kencana. 2010). Hlm. 249
[9]
http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html
[10] Ibid
[11]
Syafei, ibid. hal. 142
[12]
http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat%207%20ariyah.html
[13]
Ibid
[14]
Nawawi,ibid.,Hlm.105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar