Sabtu, 08 Desember 2012

al-Ariyah


A.    Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah menurut etimologi diambil dari kata Ara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘Ariyah berasal dari kata at-Ta’aawuru, yang berarti saling menukar dan mengganti, yakni dalam tradisi pinjam meminjam.[1]
Menurut terminologi syara’ ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
a.          Menurut ulama Hanafiah, ‘Ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.[2]
b.         Menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah, Ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih utuh.[3]
Jadi dapat kita simpulkan, Ariyah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain, sehingga orang tersebut dapat memanfaatkannya hingga waktu tertentu kemudian dikembalikan kepada pemiliknya. Contohnya, si A meminjam bulpoin kepada si B. 

B.     Landasan Hukum‘Ariyah dianjurkan dalam Islam.
Hal tersebut didasarkan pada :
a.       Al-Qur’an. QS. Al-Maidah:2 “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa”.[4]
b.      As-Sunnah dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.[5]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud
ﻭﻋﻦﺼﻔﻮﺍﻦﺒﻦﺃﻣﻳﺔﺃﻦﺍﻠﻨﺒﻲﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻳﻪﻮﺴﻠﻢﺍﺴﺘﻌﺎﺮﻤﻨﻪﻳﻮﻢﺤﻨﻳﻦﺃﺪﺮﻋﺎﻔﻘﺎﻞﺃﻏﺻﺒﺎﻳﺎﻤﺤﻤﺪﻘﺎﻞ ﺒﻞﻋﺎﺮﻳﺔﻤﻀﻤﻮﻨﺔﻘﺎﻞﻔﻀﺎﻉﺒﻌﻀﻬﺎﻔﻌﺮﺽﻋﻠﻴﻪﺍﻠﻨﺒﻲﺻﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﺃﻦﻴﺿﻤﻨﻬﺎﻠﻪﻔﻘﺎﻞﺃﻨﺎﺍﻠﻴﻮﻢ ﻔﻲﺃﻹﺴﻼﻢﺃﺮﻏﺐ

Dari Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai dari Shafwan Ibn Umayyah pada waktu perang Hunain. Shafwan bertanya, “Apakah engkau merampasnya, ya, Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku bertanggung-jawab.”
Dan hukum ‘Ariyah menurut QS. Al-Maidah:2 adalah Sunnah.[6]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

C. Rukun dan Syarat.
a.       Rukun ‘Ariyah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘Aariyah hanyalah Ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan Qabul bukan merupakan rukun ‘Aariyah. Menurut Ulama Syafi’iyah, dalam ‘Aariyah disyaratkan adanya lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi, sebab memanfaatkan milik  barang tergantung pada adanya izin. Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakkan bahwa rukun‘Aariyah ada empat, yaitu:
1.      Mu’ir (peminjam)
2.      Musta’ir (yang meminjamkan)
3.      Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
4.      Shighat (sesuatu yang menujukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan)[7]
 b.Syarat.
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ‘Aariyah sebagai berikut:[8]
1.      Mu’ir berakal sehat, ‘Aariyah tidak akan sah jika dilakukan olehorang gila dan anak kecil yang tidak berakal.
2.      Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak  boleh mengadakan akad ‘ariyah.
3.      Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dikuasai oleh pemimjam, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, transaksi dalam berbuat kebaikan.
4.      Harus ada serah terima dari musta’ir karena akad ‘Ariyah merupakan akad tabarru’, maka akad dinyatakan tidak sah tanpa adanya serah terima.
5.      Musta’ar harus milik sendiri. Bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisik yang ada. Bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis, seperti makanan dan minuman.[9]

Ulama fiqh menetapkan bahwa akad ‘Aariyah diperbolehkan atas barang-barang yang bisa dimanfaaatkan tanpa harus merusak dzat atau barang yang digunakan seperti rumah, pakaian, kendaraan, dan barang lain yang sejenis.[10]
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh. Diharamkan meminjamkan Al-Qur’an atau yang berkaitan dengan Al-Qur’an kepada orang kafir. Diharamkan juga meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.[11]
Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meminjam bukanmerupakan perjanjian yang tetap. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum asalnya, yaitu belum dikembalikan.[12]

D.  Hukum dan Sifat
Dalam ‘Aariyah, hukumnya bisa menjadi wajib, misalnya bagi muslim yang terpaksa harus meminjam sesuatu yang amat dibutuhkan kepada saudara seagamanya yang tidak membutuhkannya. Diantara hukum-hukum ‘Aariyah adalah sebagai berikut:
1.      Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah. QS. Al-Maidah:2, “Dan janganlah kalian tolong menolong pada perbuatan dosa dan permusuhan (pelanggaran)”.
2.      Jika mu’ir mensyaratkan bahwa musta’ir berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya, karena Rasul SAW bersabda, “Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka”. (HR.Abu Dawud dan Al-Hakim).
Sifat ‘Aariyah:
1.      Musta’ir harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut, kecuali oleh kuli pengangkut, atau dengan taksi.
2.      Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya pada orang lain, maka tidak apa-apa jika mu’ir mengizinkan.
3.      Musta’ir merawat barang pinjaman dengan baik. Rasulullah SAW bersabda : "Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya, sehingga ia kembalikan barang itu". (HR. Ahmad). [13]
4.      Jika seseorang meminjam kebun untuk dibuat tembok, ia tidak  boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga temboknya roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembangan sawah tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen, karena menimbulkan madlarat kepada sesama muslim itu haram.
5.      Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.[14]

E.     Aplikasi ‘Ariyah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Aplikasi ‘Aariyah dalam lembaga keuangan syariah dinamakan ‘Aariyah atau I’aarah. Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan di atas akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga. Namun pada kenyataannya, meski bank tersebut berlabel syariah, namun bank masih belum dapat melaksanakan ‘Aariyah secara murni syariah. Bank syariah masih menggunakan sistem bunga namun menggunakan istilah yang berbeda.




[1] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001). Hlm.139
[2] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta : AMZAH, 2010).  Hlm. 467
[3] ibid
[4] Rahmat Syafei, ibid., Hlm. 140
[5] Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah (Surabaya : Vira Jaya Multi Press, 2009). Hlm. 103
[6] Ismail Nawawi,ibid.,Hlm. 103
[7]Syafei,ibid.  Hlm. 141
[8] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat.(Jakarta : Kencana. 2010). Hlm. 249
[9] http://www.canboyz.co.cc/2010/03/makalah-ariyah-dan-pengertiannya.html
[10]  Ibid
[11] Syafei, ibid. hal. 142
[12] http://tarbiyatulmujahidin.comze.com/html/2%20FIQIH%20muamalat%207%20ariyah.html
[13] Ibid
[14] Nawawi,ibid.,Hlm.105-106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar