A.
Pengertian
Wakalah
Perwakilan adalah al-wakalah atau
al-wikalah, menurut bahasa artinya adalah al-Hifdz,
al-Kifalah, al-Dhaman dan al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasihan dan
pemberian mandat). Al-Wakalah atau al-wakilah menurut istilah para tokoh ulama
berbeda-beda antara lain sebagai berikut[1].
A. Malikiyyah
berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menggantikan (menempati) tempat
yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
B. Hanafiyyah
berpendapat bahwa al-Wakalah ialah
seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolahan).
C. Sayyid
al-bakri ibnu al-Arif billah al- sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati berpendapat
bahwa al-Wakalah ialah seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang
didalamnya terdapat penggantian.
D. Imam
Taqy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat bahwa al-Wakalah ialah
seseorang yang
menyerahkan hartanya untuk dikelolahnya yang ada penggantinya kepada yang lain
supaya menjaganya ketika hidupnya.
E. Hasbi
Ash-Shiddiqy berpendapat bahwa al-Wakalah ialah Akad penyerahan kekuasan, pada
akad itu seseorang
menunjuk orang lain sebagai gantinya dalam bertindak.
F. Idris
Ahmad berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan suatu
urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara’. Supaya yang diwakilkan
dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang mewakilih
masih hidup.
Berdasarkan definisi-definisi diatas,
kami dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al -Wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk
mengerjakan sesuatu, dimana perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih
hidup.
B.
Dasar
Hukum Al-Wakalah
1. Al-Qur’an
Adapun yang dijadikan dasar hukum
al-Wakalah adalah firman Allah SWT, berikut[2]:
tA$s% ÓÍ_ù=yèô_$# 4’n?tã ÈûÉî!#t“yz ÇÚö‘F{$# ( ’ÎoTÎ) îáŠÏÿym ÒOŠÎ=tæ ÇÎÎÈ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam
hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga
Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam
surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
y7Ï9ºx‹Ÿ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4 (#qä9$s% öNä3š/u‘ ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2y‰ymr& öNä3Ï%Í‘uqÎ/ ÿ¾ÍnÉ‹»yd ’n<Î) ÏpoYƒÏ‰yJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkš‰r& 4‘x.ø—r& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø—ÌÎ/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç„ öNà6Î/ #´‰ymr& ÇÊÒÈ
“Dan demikianlah Kami bangkitkan
mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang
diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di
sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’
Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di
sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah
lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.”
(al-Kahfi: 19).
Ayat
di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak
untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan
membeli makanan.
2. Al-Hadits
Hadits yang dapat
dijadikan landasan keabsahan Wakalah diantaranya:
1.
“Bahwasanya Rasulullah
mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar
untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. (HR. Malik dalam
al-Muwaththa’)
2.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. ”(HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan
kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan
penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang
hewan, dan lain-lain[3].
3.
Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan
ijma’ atas dibolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung
mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut jenis taa’wun atau tolong
menollong atas kebaikan dan taqwa.
Seperti firman Allah swt “… dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Qs. Al-Maidah 2)
Dan Rasulullah bersabda (HR Muslim no 4867) “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya“ Dalam
perkembangan fiqih Islam status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah
masuk dalam niabah yakni sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali ?
hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang.
Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili.
Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah
(menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan
pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan secara
kredit.
C.
Rukun
dan Syarat Wakalah
Rukun-rukun
al-wakalah adalah sebagai berikut[4] :
1.
Yang mewakilkan,
syarat-syarat bagi yang mewakilkan ialah bahwa yang mewailkan adalah pemilik
barang atau dibawah kekuasaanya dan dapat bertindak pada harta tersebut, jika
yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampun, maka al-wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat
membedahkan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan dalam tindakan-tindakan
yang bermanfaat mahdhah, seperti
perwakilan untuk menerima hibah, sedekah dan wasiat, jika tindakan itu termasuk
tindakan berbahaya seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan dan
mewasiatkan, maka tindakan itu adalah batal.
2.
Wakil (yang mewakilli), syarat- syarat bagi
yang mewakili
ialah bahwa yang mewakili adalah orang yang berakal, bila seorang wakil itu
idiot, gila atau belum dewasa, maka perwakilan batal, menurut Hanafiyah anak
kecil yang sudah dapat membedahkan yang baik dan buruk adalah sah untuk menjadi
wakil, alasanya ialah bahwa Amar Bin Sayyid Ummuh Salah mengawinkan ibunya
kepada Rasulullah SAW, ketika itu Amar masih menjadi anak kecil yang masih
belum baligh.
3.
Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan),
syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan ialah :
a. Menerima
penggantian, maksudnya bolah diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya,
maka tindaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalad, puasa, dan membaca ayat
Al-quran, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b. Dimiliki
oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu
yang akan di beli.
c. Diketahui
denga jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang
berkata: “ aku jadikan engaku sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang
anakku”.
4. Shigat,
yaitu lafazh mewakili, shigat di ucapkan dari yang berwakil sebagai simbol
keridlaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
D.
Macam-Macam
Wakalah
Ada beberapa macam-macam wakalah, antara
lain:[5]
1. Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara
mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil
untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih
luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah
E.
Ketentuan
Mewakilkan untuk berjual beli
Seseorang mewakilkan orang lain untuk
menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau
berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh
menjualnya dengan seenaknya
saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat
dihindari ghubun, kecuali bila
penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Pengertian mewakilkan secara mutlak
bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya
ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para
pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan[6].
Abu Hanifa berpendapat bawha wakil
tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri, kontan atau
berangsur-angsur seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan
adanya kecurangan maupun tidak, baik dengan uang negara yang bersangkutan
maupun dengan uang negara lain. Inilah pengertian mutlak menurut Imam Abu
Hanifah.
Jika perwakilan bersifat terikat, maka
wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah di tentukan oleh orang yang
mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya, kecuali kepada yang lebih buat orang
yang mewakilkan, bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual
dengan harga Rp. 10.000,- kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi,
misalnya Rp. 12.000,- atau dengan akad ditentukan bahwa barang itu boleh dijual
dengan angsuran, kemudian barang tersebut dijual secara tunai, maka penjual ini
adalah sah menurut pandangan Abu Hanifah.
Bila yang mewakili menyalahi
aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan
pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil menurut pandangan
mazhab syafi’i, sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada
kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka
menjadi sah bila tidak meridhainya,
maka menjadi batal.
Imam Malik berpendapat bahwa wakil
mempunyai hak membeli benda-benda yang diwakilkan kepadanya, umpamanya tuan
amir mewakilkan kepada tuan ahmad untuk menjual seekor kerbau, maka tuan amir
boleh membeli kerbau tersebut meskipun dia telah menjadi wakil dari penjual,
sedangkan menurut Abu Hanifa, al-Syafi’i dan Ahmad dalam saru riwayatnya yang
paling jelas, bahwa wakil itu tidak boleh menjadi pembeli, sebab menjadi
tabi’at manusia, bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya
dengan harga yang lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan)
bersungguh untuk mendapat tambahan.
F.
Berakhirnya
Akad Al-wakalah
Akad al-wakalah akan
berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut[7] :
1. Matinya
salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang
yang masih hidup.
2. Bila
salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang
yang berakad mempunyai akal.
3. Dihentikanya
pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam keadaan seperti ini al-wakalah tidak
berfungsi lagi.
4. Pemutusan
oleh orang yang mewakili terhadap wakil sekalipun wakil belum mengetahui (pendapat
Syafi’i dan hambali), sedangkan menurut Mazhab Hanafi wakil wajib mengetahui hal itu,
maka tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala
hukumanya.
5. Wakil
memutuskan sendiri, menurut Mazhab Hanafi tidak perlu orang yang mewakili
mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
6. Keluarnya
orang yang mewakili dari status pemilikan.
G.
Aplikasi
Wakalah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam
praktek perbankan syariah, transaksi wakalah ibarat pisau dapur. Keberadaannya
kurang dirasakan, namun bila tidak ada, baru terasa betapa pentingnya. Ini
karena transaksi wakalah sering hanya menjadi transaksi pendukung dan bukan
sebagai transaksi utama. Lihat saja trasaksi pembiayaan murabahah, salam,
istishna, seluruhnya memerlukan transaksi wakalah untuk alasan kemudahan. Tanpa
transaksi wakalah niscaya bank syariah akan sangat kerepotan dalam memberikan
pembiayaan karena harus membeli sendiri barang yang dibutuhkan debitor.
Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah
terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan letter of credit dan transfer uang (Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian
Kontemporer, 2001).
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam
akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khususnya pada pembukaan letter of credit, apabila dana nasabah
ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C dapat dilakukan dengan pembiayaan
murabbahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.Tugas, wewenang dan
tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang
dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas
pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan
kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan
disetujui bersama antara nasabah dengan bank.[8]
FATWA TENTANG
L/C IMPOR SYARIAH
Pertama :
Ketentuan Umum
1. Letter
of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir
yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
2. L/C
Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh,
Murabahah, Salam/Istishna?, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah. Kedua: Ketentuan
Akad Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa
bentuk, salah satunya adalah
menggunakan akad wakalah.
H. Analisis Mekanisme L/C pada lembaga Keuangan Syariah
1. Pengertian dan Mekanisme L/C Syariah
Secara umum L/C
digunakan untuk membiayai sales contract jarak jauh antara pembeli dan penjual
yang belum saling mengenal dengan baik. Pendek kata, kehadiran L/C digunakan
untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Inti dari pengertian L/C
di sini adalah bahwa L/C merupakan “janji membayar”. Sedangkan menurut Bank
Indonesia, L/C merupakan janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang
kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi L/C tersebut.
L/C ekspor syariah
adalah mendasarkan pada Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002,
bahwa akad untuk L/C ekspor yang sesuai prinsip syariah dapat berupa: akad
wakalah bil ujrah, akad wakalah bil ujrah dan qardh, akad wakalah bil ujrah dan
mudharabah, akad musyarakah, akad al-bai’ dan wakalah.[9]
a. Pelaksanaan akad
wakalah bil ujrah dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan
dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C
selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; serta besarnya
ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam
prosentase.
b. Akad wakalah bil ujrah
dan qardh dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen
ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; bank memberikan dana
talangan kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor; besarnya ujrah
harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
prosentase; pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai
kesepakatan dalam akad; dan antara akad wakalah bin ujrah dan akad qardh tidak
dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
c. Akad wakalah bin ujrah
dan mudharabah dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir seluruh dana
yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan
kepada bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan
pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
pembayaran dari bank penerbit dapat digunakan untuk pembayaran ujrah,
pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil; serta besarnya ujrah
harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk
prosentase.
d. Akad musyarakah dapat
dilakukan dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang
dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank
melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada
bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat
dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); pembayaran
dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk pengembalian dana musyarakah dan
pembayaran bagi hasil.
e. Adapun pelaksanaan
akad al-bai’ dan wakalah dilakukan dengan ketentuan: bank membeli barang dari
eksportir; bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir; bank
membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir; dan
pembayaran oleh bank L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight)
atau pada saat jatuh tempo (usance).
Berdasarkan berbagai
model akad dalam pelaksanaan L/C syariah dapat diperoleh manfaat bagi bank
syariah dan nasabah. Bank syariah memperoleh sumber pendapatan dalam bentuk
imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah; sumber pendapatan dalam bentuk
bagi hasil dari akad wakalah bil ujrah dan mudharabah; dan sumber pendapatan
dalam bentuk imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah dan hawalah.
Sedangkan manfaat bagi nasabah adalah menerima barang yang diimpor disertai
dokumen pendukung yang sesuai; memperoleh jasa penyelesaian pembayaran dan
penjaminan; dan akseptasi yang mendukung aktivitasnya dalam
perdagangan internasional.
2.
Analisis
akad pembiayaan L/C syari’ah
Dalam menetapkan akad
pembiayaan L/C syari’ah, proses analisis yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:[10]
a. Mengidentifikasi
kebutuhan nasabah, apakah ingin melakukan pembiayaan ekspor atau impor.
b. Jika nasabah melakukan
pembiayaan impor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah
memiliki dana atau tidak.
c. Jika nasabah tidak
memiliki dana, akad yang dapat digunakan oleh bank adalah akad mudharabah atau
murabahah.
d. Jika nasabah memiliki
dana, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki
dana yang cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank Islam
dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika nasabah tidak cukup, akad
yang dapat digunakan adalah wakalah bil ujrah dan qardh atau musyarakah atau
mudharabah.
e. Jika nasabah
memerlukan pembiayaan ekspor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi
apakah nasabah memiliki dan atau tidak.
f. Jika nasabah tidak
mempunyai dana, akad yang dapat digunakan oleh bank Islam adalah akad
mudharabah atau murabahah.
g. Jika nasabah memiliki
dana, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah barang tersebut ready
stock atau bukan. Jika ready stock, akad yang dapat digunakan adalah al-bai’
dan wakalah. Namun, jika bukan ready stock, langkah selanjutnya adalah
mengidentifikasi apakah barang tersebut termasuk good in process atau bukan.
Jika good in process, akad yang dapat digunakan adalah mudharabah. Jika bukan
good in process, maka bank Islam tidak layak memberikan pembiayaan.
h. Jika nasabah memiliki
dana, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah dana yang dimiliki
nasabah tersebut cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank
Islam dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika dana nasabah tidak
cukup, akad yang dapat digunakan adalah wakalah dan qardh atau musyarakah.
3. Resiko dan Permasalahan Hukum dalam L/C Syariah serta Solusinya
Kehadiran L/C syariah
memberikan angin segar bagi para pebisnis yang terlibat dalam perdagangan
internasional yang menginginkan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan
bisnisnya. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah, bank umum
syariah maupun unit usaha syariah dapat menjalankan kegiatan usaha berupa
pemberian fasilitas L/C berdasarkan prinsip syariah. Namun demikian keberadaan
L/C syariah di samping memberikan hal yang positif dalam mengakomodir kegiatan
berdasarkan prinsip syariah ternyata juga menimbulkan resiko yang cukup besar
terhadap bank maupun nasabah serta menimbulkan permasalahan hukum. Berikut akan
dikemukakan resiko dan permasalahan hukum dari L/C syariah serta solusinya:[11]
a. Pertama, resiko
pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh ketidakmampuan importir membayar
tagihan penyelesaian L/C dari bank penerbit. Dalam perjanjian penerbitan L/C
syariah antara importir dan bank syariah, importir tidak harus melunasi harga
barang seketika pada saat perjanjian penerbitan L/C dibuat karena bank syariah
dapat turut serta memberikan pembiayaan atau layanan perbankan lain pada
importir, baik dengan akad qardh, hawalah, mudharabah, murabahah, dan
musyarakah. Bank syariah tentunya harus benar-benar mempertimbangkan sebelum memberikan
dana talangan atau pembiayaan kepada importir dalam penerbitan fasilitas L/C
syariah. Sebab sangat mungkin importir tidak mampu menyelesaikan piutang kepada
bank syariah atas L/C yang diterbitkan atas dirinya.
b. Kedua, resiko reputasi
yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank syariah memenuhi komitmen yang
dijanjikan. Jika resiko ini terjadi tentu merugikan kepentingan importir dalam
fasilitas L/C impor maupun kepentingan eksportir dalam fasilitas L/C ekspor
karena akan menghambat proses penyelesaian transaksi perdagangan internasional.
Nasabah yang memanfaatkan fasilitas L/C tersebut tentunya dapat menuntut ganti
kerugian melalui mekanisme penyelesaian sengketa sesuai dengan akad yang
disepakati dan berdasarkan hukum yang berlaku.
c. Ketiga, aturan tentang
L/C syariah yang belum jelas dan lengkap. Dewan pengawas syariah memang sudah
mengeluarkan fatwa tentang L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah namun
dinilai masih kurang lengkap. Dalam aturan tersebut tidak diatur secara jelas
mengenai bentuk L/C yang boleh dipakai terkait pembatalan L/C, apakah
menggunakan bentuk revocable L/C atau Irrevocable L/C. Bagi eksportir Indonesia
akan lebih aman jika menerima irrevocable L/C sebab revocable L/C sangat
berisiko dan sering terjadi kasus yang pada akhirnya merugikan pihak eksportir.
Melalui irrevocable L/C dimaksudkan agar tercapai kepastian bahwa eksportir
memperoleh pembayaran dan importir memperoleh barang melalui penguasaan atas
dokumen dari barang yang diimpor.
d. Keempat, bank penerbit
mempunyai kemungkinan besar berhubungan dengan bank konvensional yang berbasis
pada bunga. Dalam pelaksanaan L/C tentu bank penerbit L/C syariah akan
berhubungan dengan bank konfirmasi, bank koresponden, bank penerus, dan bank
penerima yang notabene mayoritas berorientasi pada praktek perbankan
konvensional. Untuk itu, peran Dewan Pengawas Syariah sangat diperlukan dalam
mengawasi metode pembayaran L/C syariah agar tidak menyimpang dari prinsip
syariah.
e. Kelima, tanggung jawab
bank terhadap pengurusan dokumen L/C syariah. Pada umumnya bank dalam
merealisasi L/C hanya berurusan dengan dokumen-dokumen saja. Inti realisasi L/C
adalah kesesuaian dokumen-dokumen dengan persyaratan L/C. Oleh karena itu, bank
harus melakukan penelitian atas dokumen-dokumen tersebut untuk dasar menentukan
apakah dapat dibayar atau tidak. Ukuran kesesuaian tersebut didasarkan pada
standar praktik perbankan internasional. Dokumen-dokumen yang tidak konsisten
satu sama lain merupakan cerminan bahwa tidak terdapat kesesuaian antara
dokumen-dokumen dan L/C. Ketentuan ini mempunyai relevansi dengan doktrin
kesesuaian mutlak yang terus berkembang.
f. Beragam model akad
yang dapat digunakan dalam L/C syariah yang dinilai paling tepat dan minim
resiko adalah akad wakalah bil ujrah. Realitas akad wakalah adalah khusus
berupa pengurusan dokumen-dokumen sesuai persyaratan L/C. Berarti wakalah dalam
L/C adalah termasuk wakalah muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian (kuasa)
terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar
dari wakalah yang ditentukan. 10 Akad wakalah dinilai lebih tepat mewakili
proses L/C dibanding dengan akad lain dalam L/C syariah. Sebab bank tidak
menanggung resiko keterlambatan atau ketidakmampuan nasabah yang menggunakan
L/C untuk memenuhi kewajiban pengembalian atas dana talangan atau dana
pembiayaan yang diberikan oleh bank. Jenis akad ini mempermudah proses jual
beli yang dilakukan oleh importir dan eksportir,serta sesuai dengan keberadaan
L/C untuk mempermudah proses perdagangan internasional melalui mekanisme yang
aman dan praktis, tanpa menimbulkan persoalan lain.
[8] Muhammad Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema
Insani Press)2001.166.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar