Sabtu, 08 Desember 2012

al - Wakalah

A.    Pengertian Wakalah
Perwakilan adalah al-wakalah atau al-wikalah, menurut bahasa artinya adalah al-Hifdz, al-Kifalah, al-Dhaman dan al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasihan dan pemberian mandat). Al-Wakalah atau al-wakilah menurut istilah para tokoh ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut[1].
A.    Malikiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.
B.     Hanafiyyah berpendapat bahwa al-Wakalah ialah  seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolahan).
C.     Sayyid al-bakri ibnu al-Arif billah al- sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian.
D.    Imam Taqy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelolahnya yang ada penggantinya kepada yang lain supaya menjaganya ketika hidupnya.
E.     Hasbi Ash-Shiddiqy berpendapat bahwa al-Wakalah ialah Akad penyerahan kekuasan, pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya dalam bertindak.
F.      Idris Ahmad berpendapat bahwa al-Wakalah ialah seseorang yang menyerahkan suatu urusanya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara’. Supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang mewakilih masih hidup.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al -Wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dimana perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.
B.     Dasar Hukum Al-Wakalah
1.      Al-Qur’an
Adapun yang dijadikan dasar hukum al-Wakalah adalah firman Allah SWT, berikut[2]:
tA$s% ÓÍ_ù=yèô_$# 4n?tã ÈûÉî!#tyz ÇÚöF{$# ( ÎoTÎ) îáŠÏÿym ÒOŠÎ=tæ ÇÎÎÈ  
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.” (Yusuf: 55)
Dalam hal ini, nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga Federal Reserve negeri Mesir.
Dalam surat al-Kahfi juga menjadi dasar al-wakalah yang artinya berikut:
y7Ï9ºxŸ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4 (#qä9$s% öNä3š/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-øÌÎ/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ  
“Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka agar saling bertanya, ‘Sudah berapa lamakah kamu berdiri di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada di sini satu atau setengah hari.’ Berkata yang lain, ‘Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (al-Kahfi: 19).
Ayat di atas menggambarkan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
2.      Al-Hadits
Hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah diantaranya:
1.      “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang  Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2.      “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain[3].
3.         Ijma’
            Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas dibolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut jenis taa’wun atau tolong menollong atas kebaikan dan taqwa.
Seperti firman Allah swt “… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Qs. Al-Maidah 2)
Dan Rasulullah bersabda (HR Muslim no 4867) “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya“ Dalam perkembangan fiqih Islam status wakalah sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk dalam niabah yakni sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali ? hingga kini dua pendapat tersebut terus berkembang.
Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan secara kredit.
C.    Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun-rukun al-wakalah adalah sebagai berikut[4] :
1.      Yang mewakilkan, syarat-syarat bagi yang mewakilkan ialah bahwa yang mewailkan adalah pemilik barang atau dibawah kekuasaanya dan dapat bertindak pada harta tersebut, jika yang mewakilkan bukan pemilik atau pengampun, maka al-wakalah tersebut batal. Anak kecil yang dapat membedahkan baik dan buruk dapat (boleh) mewakilkan dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat mahdhah, seperti perwakilan untuk menerima hibah, sedekah dan wasiat, jika tindakan itu termasuk tindakan berbahaya seperti thalak, memberikan sedekah, menghibahkan dan mewasiatkan, maka tindakan itu adalah batal.
2.      Wakil (yang mewakilli), syarat- syarat bagi yang mewakili ialah bahwa yang mewakili adalah orang yang berakal, bila seorang wakil itu idiot, gila atau belum dewasa, maka perwakilan batal, menurut Hanafiyah anak kecil yang sudah dapat membedahkan yang baik dan buruk adalah sah untuk menjadi wakil, alasanya ialah bahwa Amar Bin Sayyid Ummuh Salah mengawinkan ibunya kepada Rasulullah SAW, ketika itu Amar masih menjadi anak kecil yang masih belum baligh.
3.      Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan ialah :
a.       Menerima penggantian, maksudnya bolah diwakilkan pada orang lain untuk mengerjakannya, maka tindaklah sah mewakilkan untuk mengerjakan shalad, puasa, dan membaca ayat Al-quran, karena hal ini tidak bisa diwakilkan.
b.      Dimiliki oleh orang yang berwakil ketika ia berwakil itu, maka batal mewakilkan sesuatu yang akan di beli.
c.       Diketahui denga jelas, maka batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang berkata: “ aku jadikan engaku sebagai wakilku untuk mengawinkan salah seorang anakku”.
4.      Shigat, yaitu lafazh mewakili, shigat di ucapkan dari yang berwakil sebagai simbol keridlaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya.
D.    Macam-Macam Wakalah
Ada beberapa macam-macam wakalah, antara lain:[5]
1.  Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2.  Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3.  Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah

E.     Ketentuan Mewakilkan untuk berjual beli
Seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sesuatu tanpa adanya ikatan harga tertentu, pembayaranya tunai atau berangsur, di kampung atau di kota, maka wakil atau yang mewakili tidak boleh menjualnya dengan seenaknya saja, tapi dia harus menjual sesuai dengan harga pada umumnya, sehingga dapat dihindari ghubun, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan.
Pengertian mewakilkan secara mutlak bukanlah berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena, tetapi maknanya ialah dia berbuat untuk melakukan jual beli yang dikenal di kalangan para pedagang dan untuk hal yang lebih berguna bagi yang mewakilkan[6].
Abu Hanifa berpendapat bawha wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri, kontan atau berangsur-angsur seimbang dengan harga kebiasaan maupun tidak, baik kemungkinan adanya kecurangan maupun tidak, baik dengan uang negara yang bersangkutan maupun dengan uang negara lain. Inilah pengertian mutlak menurut Imam Abu Hanifah.
Jika perwakilan bersifat terikat, maka wakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah di tentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahinya, kecuali kepada yang lebih buat orang yang mewakilkan, bila dalam persyaratan ditentukan bahwa benda itu harus dijual dengan harga Rp. 10.000,- kemudian dijual dengan harga yang lebih tinggi, misalnya Rp. 12.000,- atau dengan akad ditentukan bahwa barang itu boleh dijual dengan angsuran, kemudian barang tersebut dijual secara tunai, maka penjual ini adalah sah menurut pandangan Abu Hanifah.
Bila yang mewakili menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati ketika akad, penyimpangan tersebut dapat merugikan pihak yang mewakilkan, maka tindakan tersebut adalah bathil menurut pandangan mazhab syafi’i, sedangkan menurut Hanafi tindakan itu tergantung kepada kerelaan orang yang mewakilkan, jika yang mewakilkan membolehkannya maka menjadi sah bila tidak meridhainya, maka menjadi batal.
Imam Malik berpendapat bahwa wakil mempunyai hak membeli benda-benda yang diwakilkan kepadanya, umpamanya tuan amir mewakilkan kepada tuan ahmad untuk menjual seekor kerbau, maka tuan amir boleh membeli kerbau tersebut meskipun dia telah menjadi wakil dari penjual, sedangkan menurut Abu Hanifa, al-Syafi’i dan Ahmad dalam saru riwayatnya yang paling jelas, bahwa wakil itu tidak boleh menjadi pembeli, sebab menjadi tabi’at manusia, bahwa wakil tersebut ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya dengan harga yang lebih murah, sedangkan tujuan orang yang memberikan kuasa (mewakilkan) bersungguh untuk mendapat tambahan.

F.     Berakhirnya Akad Al-wakalah
Akad al-wakalah akan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut[7] :
1.      Matinya salah seorang dari yang berakad karena salah satu syarat sah akad adalah orang yang masih hidup.
2.      Bila salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah akad salah satunya orang yang berakad mempunyai akal.
3.      Dihentikanya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam  keadaan seperti ini al-wakalah tidak berfungsi lagi.
4.      Pemutusan oleh orang yang mewakili terhadap wakil sekalipun wakil belum mengetahui (pendapat Syafi’i dan hambali), sedangkan menurut Mazhab Hanafi wakil wajib mengetahui hal itu, maka tindakannya itu tak ubah seperti sebelum diputuskan, untuk segala hukumanya.
5.      Wakil memutuskan sendiri, menurut Mazhab Hanafi tidak perlu orang yang mewakili mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
6.      Keluarnya orang yang mewakili dari status pemilikan.
G.    Aplikasi Wakalah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam praktek perbankan syariah, transaksi wakalah ibarat pisau dapur. Keberadaannya kurang dirasakan, namun bila tidak ada, baru terasa betapa pentingnya. Ini karena transaksi wakalah sering hanya menjadi transaksi pendukung dan bukan sebagai transaksi utama. Lihat saja trasaksi pembiayaan murabahah, salam, istishna, seluruhnya memerlukan transaksi wakalah untuk alasan kemudahan. Tanpa transaksi wakalah niscaya bank syariah akan sangat kerepotan dalam memberikan pembiayaan karena harus membeli sendiri barang yang dibutuhkan debitor.
Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan letter of credit dan transfer uang (Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001).
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khususnya pada pembukaan letter of credit, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C dapat dilakukan dengan pembiayaan murabbahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.[8]


FATWA TENTANG L/C IMPOR SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
1.      Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada eksportir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
2.      L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna?, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah. Kedua: Ketentuan Akad Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk, salah satunya adalah menggunakan akad wakalah.
H.    Analisis Mekanisme L/C pada lembaga Keuangan Syariah
1.      Pengertian dan Mekanisme L/C Syariah
Secara umum L/C digunakan untuk membiayai sales contract jarak jauh antara pembeli dan penjual yang belum saling mengenal dengan baik. Pendek kata, kehadiran L/C digunakan untuk membiayai transaksi perdagangan internasional. Inti dari pengertian L/C di sini adalah bahwa L/C merupakan “janji membayar”. Sedangkan menurut Bank Indonesia, L/C merupakan janji dari issuing bank untuk membayar sejumlah uang kepada eksportir sepanjang ia dapat memenuhi syarat dan kondisi L/C tersebut.
L/C ekspor syariah adalah mendasarkan pada Fatwa Dewan Pengawas Syariah Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002, bahwa akad untuk L/C ekspor yang sesuai prinsip syariah dapat berupa: akad wakalah bil ujrah, akad wakalah bil ujrah dan qardh, akad wakalah bil ujrah dan mudharabah, akad musyarakah, akad al-bai’ dan wakalah.[9]
a.    Pelaksanaan akad wakalah bil ujrah dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; serta besarnya ujrah harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam prosentase.
b.   Akad wakalah bil ujrah dan qardh dilakukan dengan ketentuan: bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; bank memberikan dana talangan kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor; besarnya ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase; pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad; dan antara akad wakalah bin ujrah dan akad qardh tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
c.    Akad wakalah bin ujrah dan mudharabah dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); pembayaran dari bank penerbit dapat digunakan untuk pembayaran ujrah, pengembalian dana mudharabah, dan pembayaran bagi hasil; serta besarnya ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.
d.   Akad musyarakah dapat dilakukan dengan ketentuan: bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; bank melakukan penagihan kepada bank penerbit L/C; pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); pembayaran dari bank penerbit L/C dapat digunakan untuk pengembalian dana musyarakah dan pembayaran bagi hasil.
e.    Adapun pelaksanaan akad al-bai’ dan wakalah dilakukan dengan ketentuan: bank membeli barang dari eksportir; bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir; bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir; dan pembayaran oleh bank L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).
Berdasarkan berbagai model akad dalam pelaksanaan L/C syariah dapat diperoleh manfaat bagi bank syariah dan nasabah. Bank syariah memperoleh sumber pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah; sumber pendapatan dalam bentuk bagi hasil dari akad wakalah bil ujrah dan mudharabah; dan sumber pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujrah dari akad wakalah bil ujrah dan hawalah. Sedangkan manfaat bagi nasabah adalah menerima barang yang diimpor disertai dokumen pendukung yang sesuai; memperoleh jasa penyelesaian pembayaran dan penjaminan; dan akseptasi yang mendukung aktivitasnya dalam perdagangan internasional.
2.      Analisis akad pembiayaan L/C syari’ah
Dalam menetapkan akad pembiayaan L/C syari’ah, proses analisis yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:[10]
a.       Mengidentifikasi kebutuhan nasabah, apakah ingin melakukan pembiayaan ekspor atau impor.
b.      Jika nasabah melakukan pembiayaan impor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dana atau tidak.
c.       Jika nasabah tidak memiliki dana, akad yang dapat digunakan oleh bank adalah akad mudharabah atau murabahah.
d.      Jika nasabah memiliki dana, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dana yang cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank Islam dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika nasabah tidak cukup, akad yang dapat digunakan adalah wakalah bil ujrah dan qardh atau musyarakah atau mudharabah.
e.       Jika nasabah memerlukan pembiayaan ekspor, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah nasabah memiliki dan atau tidak.
f.    Jika nasabah tidak mempunyai dana, akad yang dapat digunakan oleh bank Islam adalah akad mudharabah atau murabahah.
g.   Jika nasabah memiliki dana, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah barang tersebut ready stock atau bukan. Jika ready stock, akad yang dapat digunakan adalah al-bai’ dan wakalah. Namun, jika bukan ready stock, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah barang tersebut termasuk good in process atau bukan. Jika good in process, akad yang dapat digunakan adalah mudharabah. Jika bukan good in process, maka bank Islam tidak layak memberikan pembiayaan.
h.   Jika nasabah memiliki dana, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi apakah dana yang dimiliki nasabah tersebut cukup atau tidak. Jika dana yang dimiliki nasabah cukup, bank Islam dapat menggunakan akad wakalah bil ujrah. Namun, jika dana nasabah tidak cukup, akad yang dapat digunakan adalah wakalah dan qardh atau musyarakah.
3.  Resiko dan Permasalahan Hukum dalam L/C Syariah serta Solusinya
Kehadiran L/C syariah memberikan angin segar bagi para pebisnis yang terlibat dalam perdagangan internasional yang menginginkan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan bisnisnya. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Perbankan Syariah, bank umum syariah maupun unit usaha syariah dapat menjalankan kegiatan usaha berupa pemberian fasilitas L/C berdasarkan prinsip syariah. Namun demikian keberadaan L/C syariah di samping memberikan hal yang positif dalam mengakomodir kegiatan berdasarkan prinsip syariah ternyata juga menimbulkan resiko yang cukup besar terhadap bank maupun nasabah serta menimbulkan permasalahan hukum. Berikut akan dikemukakan resiko dan permasalahan hukum dari L/C syariah serta solusinya:[11]
a.    Pertama, resiko pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh ketidakmampuan importir membayar tagihan penyelesaian L/C dari bank penerbit. Dalam perjanjian penerbitan L/C syariah antara importir dan bank syariah, importir tidak harus melunasi harga barang seketika pada saat perjanjian penerbitan L/C dibuat karena bank syariah dapat turut serta memberikan pembiayaan atau layanan perbankan lain pada importir, baik dengan akad qardh, hawalah, mudharabah, murabahah, dan musyarakah. Bank syariah tentunya harus benar-benar mempertimbangkan sebelum memberikan dana talangan atau pembiayaan kepada importir dalam penerbitan fasilitas L/C syariah. Sebab sangat mungkin importir tidak mampu menyelesaikan piutang kepada bank syariah atas L/C yang diterbitkan atas dirinya.
b.   Kedua, resiko reputasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan bank syariah memenuhi komitmen yang dijanjikan. Jika resiko ini terjadi tentu merugikan kepentingan importir dalam fasilitas L/C impor maupun kepentingan eksportir dalam fasilitas L/C ekspor karena akan menghambat proses penyelesaian transaksi perdagangan internasional. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas L/C tersebut tentunya dapat menuntut ganti kerugian melalui mekanisme penyelesaian sengketa sesuai dengan akad yang disepakati dan berdasarkan hukum yang berlaku.
c.    Ketiga, aturan tentang L/C syariah yang belum jelas dan lengkap. Dewan pengawas syariah memang sudah mengeluarkan fatwa tentang L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah namun dinilai masih kurang lengkap. Dalam aturan tersebut tidak diatur secara jelas mengenai bentuk L/C yang boleh dipakai terkait pembatalan L/C, apakah menggunakan bentuk revocable L/C atau Irrevocable L/C. Bagi eksportir Indonesia akan lebih aman jika menerima irrevocable L/C sebab revocable L/C sangat berisiko dan sering terjadi kasus yang pada akhirnya merugikan pihak eksportir. Melalui irrevocable L/C dimaksudkan agar tercapai kepastian bahwa eksportir memperoleh pembayaran dan importir memperoleh barang melalui penguasaan atas dokumen dari barang yang diimpor.
d.   Keempat, bank penerbit mempunyai kemungkinan besar berhubungan dengan bank konvensional yang berbasis pada bunga. Dalam pelaksanaan L/C tentu bank penerbit L/C syariah akan berhubungan dengan bank konfirmasi, bank koresponden, bank penerus, dan bank penerima yang notabene mayoritas berorientasi pada praktek perbankan konvensional. Untuk itu, peran Dewan Pengawas Syariah sangat diperlukan dalam mengawasi metode pembayaran L/C syariah agar tidak menyimpang dari prinsip syariah.
e.    Kelima, tanggung jawab bank terhadap pengurusan dokumen L/C syariah. Pada umumnya bank dalam merealisasi L/C hanya berurusan dengan dokumen-dokumen saja. Inti realisasi L/C adalah kesesuaian dokumen-dokumen dengan persyaratan L/C. Oleh karena itu, bank harus melakukan penelitian atas dokumen-dokumen tersebut untuk dasar menentukan apakah dapat dibayar atau tidak. Ukuran kesesuaian tersebut didasarkan pada standar praktik perbankan internasional. Dokumen-dokumen yang tidak konsisten satu sama lain merupakan cerminan bahwa tidak terdapat kesesuaian antara dokumen-dokumen dan L/C. Ketentuan ini mempunyai relevansi dengan doktrin kesesuaian mutlak yang terus berkembang.
f.    Beragam model akad yang dapat digunakan dalam L/C syariah yang dinilai paling tepat dan minim resiko adalah akad wakalah bil ujrah. Realitas akad wakalah adalah khusus berupa pengurusan dokumen-dokumen sesuai persyaratan L/C. Berarti wakalah dalam L/C adalah termasuk wakalah muqayyadah (khusus), yaitu pendelegasian (kuasa) terhadap pekerjaan tertentu. Dalam hal ini seorang wakil tidak boleh keluar dari wakalah yang ditentukan. 10 Akad wakalah dinilai lebih tepat mewakili proses L/C dibanding dengan akad lain dalam L/C syariah. Sebab bank tidak menanggung resiko keterlambatan atau ketidakmampuan nasabah yang menggunakan L/C untuk memenuhi kewajiban pengembalian atas dana talangan atau dana pembiayaan yang diberikan oleh bank. Jenis akad ini mempermudah proses jual beli yang dilakukan oleh importir dan eksportir,serta sesuai dengan keberadaan L/C untuk mempermudah proses perdagangan internasional melalui mekanisme yang aman dan praktis, tanpa menimbulkan persoalan lain.






[1] Hendi Suhendi, fiqh muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)2002, hal 231.
[2] Ibid, hal 233.
[3] Abdurrahman al Gharyani.  Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, hal 186.
[4] Hendi Suhendi, hal 234-235.
[5] Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: KENCANA)2011, hal 105.
[6] Ibid, hal 236.
[7] Ibid, hal 237.
[8] Muhammad  Syafi’I Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press)2001.166.

[9] Ismail, hal 198.

[10] Muhammad  Syafi’I Antonio, Hal.166.

[11] Ismail, hal 199-200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar