Jumat, 06 April 2012

Mudharabah


A.    Pengertian Mudharabah
Istilah  Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz  disebut dengan Qiradh. Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. memukul atau  berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara  terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan  Mudharabah atau Qiradh dengan:[1]
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor.

B.     Dasar Hukumnya
Secara eksplisit dalam al-Quran tidak dijelaskan langsung mengenai hukum  mudharabah, Meskipun demikian mudharabah tetap sangat dianjurkan dalam islam berdasarkan:[2]
a. Al Qur’an
Ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah antara lain:
“Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah” (QS.Al Muzammil:20)
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (Rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS.Al Baqarah: 198)
b. As Sunah
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Syuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah dan Shuhaib)
c. Ijma’
Diantara ijma’ dalam mudharabah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah, perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada Al-Musyaqoh (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan tersebut.

C.    Rukun dan Syarat Mudharabah
1.      Rukun Mudharabah
Dalam hal rukun akad  mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara ulama terutama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama  Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul.
Sedangkan  Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan akad. Artinya tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama  Hanafiyah. Hal ini sejalan dengan pemikiran imam Al Syarbini dalam  Syarh AlMinhaaj.[3]
Berdasarkan beberapa pendapat ulama’ tentang rukun-rukun Mudharabah seperti yang telah dikemukakan diatas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa rukun-rukun Mudharabah, antara lain adalah sebagai berikut:
Rukun pertama: adanya dua pelaku atau lebih.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.

Rukun kedua: objek transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1.      Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd).
2.      Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3.      Modal yang diserahkan harus tertentu.
4.      Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha disini disyaratkan beberapa syarat:
1.      Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2.      Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
c. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1.   Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal.
2.         Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.
3.         Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4.      Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1.   Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. 
2.         Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan.
3.         Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna.
4.        Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.
Dan tidak dapat melakukannya karena tiga hal :[4]
1.      Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
2.      Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3.      Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan untuk melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab dan qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
2.      Syarat Dalam Mudharabah 
Berdasarkan analisa dari syarat-syarat mudharabah yang sebenarnya telah disebutkan dari bagian rukun-rukun diatas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa syarat-syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua :
1.    Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki mashlahah untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2.    Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga :
·         Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
·         Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntunan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
·         Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola.

D.    Macam-macam Mudharabah
Para ulama sepakat dalam membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis :
1.        Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi.
2.        Al Mudharabah Al-Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.
Jadi, perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
E.     Katentuan-ketentuan yang Terkait dan Berkaitan
1. Pertentangan antara pemilik dan pengusaha[5]
a.       Perbedaan dalam mengusahakan (Tasyaruf) harta.
Diantara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaan dalam hal keumuman ber-tasyaruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang disyaratkan, serta ukuran modal. Jika terjadi perbedaan antara pemilik modal dan pengusaha, yaitu satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum alam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
b.      Perbedaan dalam harta yang rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah yakni tidak ada khianat.
c.       Perbedaan tentang pengembalian harta
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal.
Adapun menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah yang diterima adalah ucapan pengusaha, sebab pengusaha lebih bisa dipercaya.
d.      Perbedaan dalam jumlah modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
e.       Perbedaan dalam ukuran laba
1.      Ulama hanafiyah dan hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
2.      Ulama malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat :
a.         Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah.
b.        Harta masih dipegang oleh pengusaha.
3.  Menurut ulama syafi’iyah’ jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaanya.
2. Perkara yang membatalkan mudharabah[6]
a.       Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan (Tasyaruf), dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi jika pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha (mudharib) dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
b.      Salah seorang akid meninggal dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
c.       Salah seorang aqid gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
d.      Pemilik modal murtad
Apabila pemilik modal murtad (keluar dari islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut imam abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan diantara para ahli warisnya.
e.       Modal rusak ditangan pengusaha
Jika harta rusak sebelum dibelanjakan, mudharabah menjadi batal. Hal ini karena modal harus dipegang oleh pengusaha. Jika modal rusak, mudharabah batal.
Begitu pula, mudharabah dianggap rusak jika modal diberikan kepada orang lain atau dihabiskan sehingga tidak tersisa untuk diusahakan.

F.     Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Terkait dengan apilkasi mudharabah dalam Perbankan Syariah khususnya di Indonesia, umumnya di seluruh dunia, lebih dahulu kita harus tahu dimana letak mudharabah dalam Perbankan Syariah. Perbankan syariah, pada dasarnya memiliki 5 prinsip. Prinsip dasar Bank Syariah meliputi prinsip simpanan murni, prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa (al-ijarah), dan prinsip fee (jasa). Hal inilah yang kemudian menjadi dasar dari pembentukan produk-produk yang dikeluarkan oleh Perbankan Syariah.
Menurut Muhammad Syafi’i antonio,[7] produk bank syariah ada 3, meliputi produk penghimpunan dana, produk penyaluran dana, dan produk jasa. Produk penghimpunan dana antara lain: Giro Wadi’ah, Tabungan Mudharabah, Deposito Investasi Mudharabah, Tabungan Haji Mudharabah, dan Tabungan Qurban. Dan produk penyaluran dana meliputi Mudharabah, Salam, Istishna’, Ijarah wal Iqtina’, Murabahah, Al-Qardhul Hasan, Musyarakah. Sedangkan produk jasa antara lain: Jasa Transfer, Bank Garansi, Menerima zakat, Infaq, dan Shadaqah (untuk disalurkan), dan lain-lain.
Mudharabah merupakan produk yang memerikan penyediaan pembiayaan modal investasi atau modal kerja hingga 100% sedangkan nasabah berperan sebagai pihak yang mengelola dana. Lalu besarnya keuntungan dibagi melalui perjanjian yang sesuai dengan proporsinya.[8]
Lebih lanjut terkait tentang teknik bagaimana proses akad Mudharabah ini dijalankan, Menurut Syafii Antonio dalam bukunya yang berjudul “Bank Islam: Teori dan Praktek”[9] menjelaskan bahwa mudharabah dapat dilakukan dengan cara mencampurkan dan memisahkan dana al-Mudharabah seperti berikut :
1.         Pemisahan total antara dana mudharabah dan harta-harta lainnya, termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan memilki kekurangan. Kelebihan teknik ini adalah pendapatan, biaya, dan keuntungan dapat dihitung dengan akurat. Selain itu, jika terjadi kerugian, penyebab dan seberapa besar kerugian itu bisa diketahui secara akurat pula. Sedangkan kelemahan dari teknik ini menyangkut masalah etika dan moral mudharib.
2.         Dana Mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya.
Sistem ini menghilangkan munculnya masalah etika dan moral seperti diatas. Namun, dalam sistem ini pendapatan dan biaya mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya. Sehinnga menimbulkan kesulitan dalam proses akutansi dan pendapatan, biaya, keuntungan, serta kerugian yang diperoleh tidak akurat.
Akad atau produk ini dalam pendanaan sebagaimana tertera dalam tabel diatas digunakan sebagai jenis setoran yang ditawarkan oleh pihak perbankan dan tentu termasuk diatara pilihan yang akan dipilih oleh nasabah. Mudharabah disisni berbentuk tabungan, deposito, investasi, serta obligasi. Lalu dalam pembiayaan, Mudharabah digunakan sebagai jenis pinjaman pengusaha guna melangsungkan usahanya dengan konsep bagi hasil dalam periode tertentu. Sedangkan dalam bidang jasa, Mudharabah digunakan sebagai jenis akad bagi hasil ketika Bank Syariah difungsikan sebgai agen. Contohnya, ketika seorang nasabah ingin memebeli suatu produk yang ia inginkan dan menjelaskan kriteria-kriteria produk tersebut kepada Bank Syariah, maka Bank Syariah disini menawarkan jenis akad apa yang akan dipilih. Apakah wadi’ah dengan pola titipan sehingga pihak bank tidak diperbolehkan mengambil bagi hasil ataukah akad mudharabah dengan pola bagi hasil, ataukah akad yang lain seperti wakalah? Jika nasabah memilih mudharabah, maka pihak bank berhak mengambil keuntungan dari harga pokok pembelian sesuai dengan  kesepakan antara pihak bank dengan nasabah saat terjadi akad.
Perlu kita ketahui bahwa mudharabah ini tidak hanya diaplikasikan dalam lembaga keuangan perbankan saja, melainkan juga dalam lembaga keuangan nonperbankan seperti BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Di BMT, akad mudharabah ini juga merupakan akad yang sering diaplikasikan dalam produk penghimpunan dana dan produk penyaluran dana seperti adanya tabungan mudharabah dan pinjaman mudharabah.[10]







[1] Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta:Raja Grafindo Persada. Hal. 23.
[2] Fatahillah, Gilang. 2008. Kitabur Rizqi. Jambi: Permata Ilahi. Hal. 45.
[3] Rasyid, Sulaiman. 2007. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo. Hal. 198.
[4] Darmani. 2009. Hukum Muamalah. Yogyakarta: Pinaseta. Hal.32.
[5] Darmani, Ibid. Op.,cit. Hal. 38.
[6] Ibid., Op.cit. hal. 39.
[7] “Bisnis dan Perbankan dalam Perspektif Islam” dalam Muhammad,Drs.M.Ag.2006.Bank Syariah:Analisis Kekuatan,Kelemahan,Peluang, dan Ancaman.Yogyakarta:Ekonisia.hal.17-18.
[8] Yuliadi, Imamudin.2001.Ekonomi Islam.Yogyakarta:Lemabaga Pengkajian dan Pengalaman Islam. Hal.132.
[9] Dikutip dari Muhammad,Drs.,M.Ag.2005.Manajemen Bank Syariah.Yogyakarta:UPP AMP YKPN.hal.109-110.
[10] Hosen, Muhammad Nadzratuzzaman,MS,Mec,Ph.D. 2006. Pedoman Pendirian BMT. Pasuruan: PUSTAKA SIDOGIRI. Hal.5.