A.
Sejarah Saham Syariah[1]
Secara praktis instrument saham
belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau. Pada masa
tersebut yang dikenal hanyalah perdagangan barang riil seperti layaknya yang terjadi
pada pasar biasa. Pengakuan kepemilikan sebuah perusahaan pada masa itu belum
dinyatakan dalam bentuk saham seperti sekarang. Dengan demikian pada pada masa
itu, bukti kepemilikan dan atau jual
beli atas sebuah aset hanya melalui mekanisme jual beli biasa dan belum melalui
Initial Public Offering (IPO) dengan
saham sebagai instrumennya. Pada saat itu yang terbentuk hanyalah pasar riil
biasa yang mengadakan pertukaran barang dengan uang dan pertukaran barang
(barter).
Dikarenakan belum adanya pembahasan
dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang menyatakan secara jelas dan pasti tentang
keberadaan saham maka para ulama berusaha untuk menemukan rumusan kesimpulan
hukun tersendiri untuk saham. Usaha tersebut lebih dikenal dengan ijtihad.
Meskipun begitu terdapat perbedaan pendapat dalam memperlakukan saham dari
aspek hukum khususnya dalam jual beli. Ada sebagian mereka yang memperbolehkan
transaksi jual beli saham ada pula yang tidak membolehkan. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) merupakan kalangan ulama yang memandang kegiatan jual beli
saham sebagai kegiatan yang dihalalkan. Para ulama membolehkan jual beli saham
mengatakan bahwa saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Para
ulama kontemporer yang merekomendasikan perihal tersebut diantaranya Abu
Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Yusuf
Qardhawi dalam kitabnya Fiqh Zakah
halaman 527. Meskipun begitu terdapat aturan dan norma jual beli saham yang
perlu tetap mengacu pada pedoman jual beli barang pada umumnya dan sesuai
dengan syariah Islam.
Adanya fatwa-fatwa ulama kontemporer
tentang jual beli saham semakin memperkuat landasan akan bolehnya jual beli
saham. Dalam kumpulan fatwa Dewan Islam Nasional Saudi Arabia yang diketuai
oleh Syekh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz jilid 13 bab jual beli halaman
320-321 fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual beli.
Selain fatwa tersebut, fatwa DSN
Indonesia juga telah memutuskan akan bolehnya jual beli saham. (Fatwa DSN-MUI
No. 40/DSN-MUI/2003). Dalam perkembangannya mulai tahun 2007 Bapepam –LK sudah
mengeluarkan daftar efek syariah yang berisis emiten-emiten yang sahamnya
sesuai dengan ketentuan Islam berdasarkan keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Lembaga Keuangan No. Kep 325/BI/2007 tentang Daftar Efek Syariah tanggal
12 September 2007 yang berisi 174 saham syariah.
Dalam hal ini, di Indonesia usaha
untuk melakukan investasi pada saham syariah diwujudkan dengan adanya index
syariah yang saat ini diwakili oleh Jakarta Islamic Index. Index ini sendiri
merupakan indeks 30 saham yang sudah mendapatkan pengesahan dari DSN-MUI serta
PT Bursa Efek Jakarta (saat itu) dan PT Danareksa Invesment Management. Adapun
tujuan dari dikeluarkannya indeks JII adalah sebagai sarana pengukuran akan
kinerja saham yang dianggap memiliki basis syariah. Penentuan kriteria dari
komponen yang terdapat dalam JII disusun berdasarkan persetujuan dari DSN dan
PT. DIM.
Geliat
pasar modal syariah di Indonesia dimulai dengan diluncurkannya reksadana
syariah untuk pertama kalinya oleh Danareksa Syariah pada tahun 1997, dan
disusul kemudian dengan peluncuran indeks syariah, yaitu Jakarta Islamic Index
(JII) pada tahun 2000. Selanjutnya seiring dengan dikeluarkannya Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang obligasi syariah, PT. Indosat
untuk pertama kalinya menerbitkan obligasi syariah dengan tingkat imbal hasil
sebesar 16,75%, suatu tingkat return yang cukup tinggi dibandingkan dengan
rata-rata return obligasi konvensional pada waktu itu. Obligasi yang
diterbitkan PT. Indosat tersebut untuk selanjutnya menjadi pioner penerbitan
obligasi syariah di Indonesia.
Dibandingkan
dengan beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim, Indonesia tergolong
lambat dalam mengembangkan pasar modal syariah, bahkan dibandingkan negara
sekuler seperti Amerika. Obligasi syariah pertama yang diterbitkan di dunia
adalah obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia pada tahun 1983.
Indonesia baru menerbitkan obligasi syariah pada tahun 2002. Sebuah rentang
waktu yang cukup jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan Asia
Pasifik, seperti Iran dan Kuwait (IOSCO, 2004:27).
Di
Indonesia, tonggak awal yang berkaitan dengan pembuatan peraturan pasar modal
syariah bisa dikatakan baru dimulai pada tahun 2001, yakni bersamaan dengan
dikeluarkannya fatwa DSN MUI No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang pedoman investasi
untuk reksadana syariah. Kemudian diikuti oleh fatwa DSN MUI tahun 2002 tentang
obligasi syariah, serta nota kesepahaman Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
dengan DSN-MUI tentang pembentukan pasar modal yang berdasarkan prinsip-prinsip
syariah (Nasarudin dan Surya, 2007:205).
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Syarif (2008:38) pada tahun 2007, dari 388 saham
emiten yang tercatat di BEI pada bulan November, hanya 164 saham yang sesuai
dengan prinsip syariah dan layak untuk ditransaksikan dalam pasar modal
syariah. Kesesuaian dalam prinsip tersebut didasarkan kepada produk yang
dihasilkan emiten dan transaksi sahamnya di BEI. Sedangkan sisanya 222 saham
tergolong haram atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti saham
perbankan, consumer product (minuman keras) dan rokok.
Jakarta
Islamic Index (JII), yang merupakan benchmark saham syariah di Indonesia
terdiri dari 30 saham yang diseleksi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) per
semester, tepatnya setiap bulan Januari dan Juni. Sampai akhir tahun 2006,
kapitalisasi pasar JII telah mencapai 48 % dari total kapitalisasi saham di
BEI.
Dalam
kerangka kegiatan pasar modal syariah, ada beberapa lembaga penting yang secara
langsung terlibat dalam kegiatan pengawasan dan perdagangan, yaitu: Bapepam,
Dewan Syariah Nasional (DSN), bursa efek, perusahaan efek, emiten, profesi dan
lembaga penunjang pasar modal serta pihak terkait lainnya. Khusus untuk
kegiatan pengawasan dilakukan bersama oleh BAPEPAM dan DSN. DSN berfungsi
sebagai pusat referensi (reference center) atas semua aspek-aspek
syariah yang ada dalam kegiatan pasar modal syariah. DSN bertugas memberikan
fatwa-fatwa sehubungan dengan kegiatan emisi, perdagangan, pengelolaan
portofolio efek-efek syariah, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan efek
syariah.
Khusus
untuk penentuan saham syariah, selain ketentuan-ketentuan syariah harus
terpenuhi, ada ketentuan lain yang ditetapkan DSN dalam menentukan saham mana
yang berhak atau tidak berhak masuk indeks syariah (Jakarta Islamic Index).
Ketentuan-ketentuan tersebut didasarkan pada (Huda dan Nasution, 2007:56):
1.
Jenis usaha; jenis usaha utama tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk
ke dalam 10 saham berkapitalisasi besar).
2.
Laporan keuangan; laporan keuangan tahunan atau
semester memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal 90%.
3.
Kapitalisasi pasar; memilih 60 saham dengan
urutan rata-rata kapitalisasi pasar terbesar selama satu tahun terakhir.
4.
Likuiditas; memilih 30 saham berdasarkan
likuiditas nilai perdagangan terbesar selama satu tahun terakhir.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan perkembangan saham
syariah yang masuk Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) mengalami peningkatan. Pada 2008 tercatat
sebanyak 195 saham, sedangkan akhir 2012 sebanyak 302 atau 62 persen dari
seluruh saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain itu.
MUI mengakui telah memberikan enam sertifikat syariah kepada produk syariah
pada Juli 2011.[2]
Dewan Syariah MUI Ma'ruf Amin mengatakan, dengan banyaknya produk
syariah terutama dengan adanya online trading akan memberikan kemudahan
pada umat Islam khususnya, dan secara umum terhadap investasi ke pasar modal. “Industri
keuangan terus menunjukan tren dari tahun ke tahun terutama pada pasar modal
syariah. Saat ini kita sudah melakukan kerjasama dengan kementerian pariwisata
untuk mengembankan wisata syariah," jelasnya, usai launching online trading syariah
Mandiri Sekuritas, di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu (16/1/2013).
Hal ini, menurutnya sangat menggembirakan karena merupakan salah
satu indikator untuk muamalat secara syariah. Tercatat Oktober 2012 keuangan
syariah mengalami pertumbuhan sebanyak 28 persen yang berasal dari syariah,
sedangkan negara tumbuh 55 persen, yang terdiri dari asuransi perbankan 22
persen, sukuk 1,2 persen dan reksa dana 5,16 persen.
"Kinerja syariah saat ini lebih mengungguli dibandingkan
dengan konvensional, sejak diluncurkan saham syariah tumbuh 17,11 persen lebih
tinggi dari IHSG pada periode yang sama 12,74 persen," ungkapnya. Namun jika dilihat dari
porsi masih terbilang kecil maka perlu upaya yang intensif khususnya stakeholder
untuk lebih meningkatkan pasar modal syariah, salah
satunya dengan sosialisasi dan edukasi.
B.
Pengertian Saham Syariah
Istilah saham dapat diartikan
sebagai sertifikat penyertaan modal dari seseorang atau badan hukum terhadap
suatu perusahaan. Saham merupakan tanda bukti tertulis bagi para investor
terhadap kepemilikan suatu perusahaan yang telah go public.[3]
Melalui pembelian saham dalam jumlah tertentu, pihak pemegang saham (shareholder) memiliki hak dan
kewajiban untuk berbagi hasil dan resiko (profit
and loss sharing) dengan para pengusaha, menghadiri Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), dan bahkan mengambil alih kepemilikan perusahaan.
Saham adalah tanda penyertaan atau
kepemilikan seseorang atau badan tertentu pada perusahaan penerbit saham
bersangkutan. Bentuk fisik saham berupa selembar kertas yang menjelaskan bahwa
pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas
tersebut. Pemilik saham akan mendapatkan keuntungan dari penyertaannya di
perusahaan tersebut, namun hal tersebut sangat tergantug pada perkembangan
perusahaan penerbit saham.[4]
Saham (stock) merupakan salah satu instrumen surat berharga yang paling
dominan dalam pasar modal. Menerbitkan saham menjadi salah satu pilihan bagi
pihak manajemen perusahaan untuk mendapatkan sumber pendanaan. Bagi para
pengusaha, keberadaan sumber dana dapat berfungsi sebagai modal untuk
mendirikan perusahaan dan atau pengembangan usaha. Sedangkan bagi investor,
saham merupakan instrument investasi yang menarik karena keberadaannya dinilai
menjanjikan keuntungan tertentu. Keuntungan tersebut biasanya dapat diperoleh
dari hasil selisih harga pembelian dengan penjualan saham (capital gain) atau melalui pembagian keuntungan (dividen) dari hasil usaha yang
dijalankan oleh perusahaan pada periode tertentu.
Dalam Islam, saham pada hakikatnya
merupakan modifikasi sistem persekutuan modal dan kekayaan, yang dalam istilah fiqh
dikenal dengan nama syirkah. Pemegang
saham dalam syirkah disebut syarik. Pada kenyataannya, bahwa para syarik ada yang sering bepergian
sehingga tidak dapat terjun langsung dalam persekutuan. Karenanya, bentuk syirkah dimana para syarik dapat mengalihkan kepemilikannya tanpa sepengetahuan pihak
lain disebut syirkah musahamah.
Sedangkan bukti kepemilikannya disebut saham.[5]
Menurut
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip
Syariah di Bidang Pasar Modal, mendefinisikan saham syariah merupakan bukti
kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah.[6]
Menurut
Kurniawan (2008), saham syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam.
Menurut
Soemitra, saham syariah merupakan surat berharga yang merepresentasikan
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Penyertaan modal dilakukan pada
perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Akad yang
berlangsung dalam saham syariah dapat dilakukan dengan akad mudharabah dan musyarakah.[7]
Pada
sistem mudharabah, pihak yang menyetorkan dana tidak terlibat dalam pengelolaan
perusahaan. Investor (mudharib)
menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada pihak lain. Sementara pada sistem musyarakah, dua atau beberapa pihak
bekerja sama saling menyetorkan modalnya. Bagi hasilnya disesuaikan secara
proporsional dengan dana yang disetorkan. Dalam musyarakah, pihak-pihak yang terlibat boleh menjadi mitra diam
(tidak ikut mengelola) atau menjadi mitra aktif (ikut mengelola perusahaan).[8]
Pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan antara saham yang syariah dengan yang non syariah. Namun saham
sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan, dapat dibedakan menurut kegiatan
usaha dan tujuan pembelian saham tersebut. Saham menjadi halal (sesuai syariah)
jika saham tersebut dikeluarkan oleh perusahaan yang kegiatan usahanya bergerak
di bidang yang halal dan atau dalam niat pembelian saham tersebut adalah untuk
investasi, bukan untuk spekulasi. Untuk lebih amannya, saham yang delisting
dalam Jakarta Islamic Index (JII)
merupakan saham-saham yang insya Allah sesuai syariah. Dikatakan demikian,
karena emiten yang terdaftar dalam Jakarta
Islamic Index akan selalu mengalami proses penyaringan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan.[9]
Pada
dasarnya, ada dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau
memiliki saham:
1.
Dividen.
Dividen
merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari
keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat
persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin
mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam
kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada
dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan
dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai – artinya
kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah
rupiah tertentu untuk setiap saham atau
dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham
diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang
pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut.
2.
Capital Gain
Capital Gain merupakan selisih antara harga
beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan
saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per
saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti
pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham
yang dijualnya.[10]
Sebagai instrument investasi, saham memiliki
risiko, antara lain:
1.
Capital Loss.
Merupakan
kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham
lebih rendah dari harga beli. Misalnya saham PT. XYZ yang di beli dengan harga
Rp 2.000,- per saham, kemudian harga saham tersebut terus mengalami penurunan
hingga mencapai Rp 1.400,- per saham. Karena takut harga saham tersebut akan
terus turun, investor menjual pada harga Rp 1.400,- tersebut sehingga mengalami
kerugian sebesar Rp 600,- per saham.
2.
Risiko Likuidasi
Perusahaan
yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan
tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat
prioritas terakhir setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari
hasil penjualan kekayaan perusahaan). Jika masih terdapat sisa dari hasil
penjualan kekayaan perusahaan tersebut, maka sisa tersebut dibagi secara
proporsional kepada seluruh pemegang saham. Namun jika tidak terdapat sisa
kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari
likuidasi tersebut. Kondisi ini merupakan risiko yang terberat dari pemegang
saham. Untuk itu seorang pemegang saham dituntut untuk secara terus menerus
mengikuti perkembangan perusahaan.
Sedangkan
risiko dari investasi pada saham biasa adalah:[11]
1.
Kemungkinan tidak mendapatkan dividen, bila
operasional perusahaan yang menerbitkan saham mengalami kerugian.
2.
Adanya kemungkinan capital loss, karena
melakukan penjualan saham dengan harga yang akhirnya lebih rendah dari harga
beli sahamnya.
3.
Kemungkinan perusahaan penerbit saham mengalami
kebangkrutan atau dilikuidasi, yang mengakibatkan perusahaan tersebut
dihapuskan dari papan perdagangan di Bursa Efek.
4.
Perdagangan saham dihentikan secara sementara,
disuspensi yang menyebabkan pihak investor bisa untuk sementara tidak melakukan
aksi jual dan beli saham.
C.
Jenis-Jenis Saham
Pada umumnya saham yang diterbitkan
oleh sebuah perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran umum (Initial Public Offering) ada dua macam,
yaitu saham biasa (common stock) dan
saham istimewa (preferred stock).
Perbedaan saham ini berdasarkan pada hak yang melekat pada saham tersebut. Hak
tersebut meliputi hak atas menerima dividen, dan memperoleh bagian kekayaan
jika perusahaan dilikuidasi setelah dikurangi semua kewajiban-kewajiban
perusahaan. Adapun ciri-ciri saham istimewa selengkapnya sebagai berikut:[12]
1.
Hak
utama atas dividen, artinya saham istimewa mempunyai hak terlebih dahulu dalam
hal menerima dividen.
2.
Hak
utama atas aktiva perusahaan, artinya dalam hak likuidasi berhak menerima
pembayaran maksimum sebesar nilai nominal saham istimewa setelah semua
kewajiban perusahaan dilunasi.
3.
Penghasilan
tetap, artinya pemegang saham istimewa memperoleh penghasilan dalam jumlah yang
tetap.
4.
Jangka
waktu yang tidak terbatas, saham istimewa yang diterbitkan mempunyai jangka
waktu yang tidak terbatas, akan tetapi dengan syarat bahwa perusahaan mempunyai
hak untuk membeli kembali saham istimewa tersebut dengan harga tertentu.
5.
Tidak
memiliki hak suara, artinya pemegang saham istimewa tidak mempunyai suara dalam
RUPS.
6.
Saham
istimewa kumulatif, artinya dividen yang tidak dibayarkan oleh perusahaan
kepada pemegang saham tetap menjadi hak pemegang saham istimewa tersebut. Jika
suatu perusahaan tidak membagikan dividen, maka perusahaan harus membayarkan
dividen terutang tersebut sebelum membagikannya kepada pemegang saham biasa.
Selain dari saham biasa dan
istimewa, saham memiliki macam dan jenis yang cukup beragam, berikut adalah
tipe macam saham:[13]
1.
Saham
yang dicap (assented shares),
penyetempelan saham dapat terjadi dalam hal perseroan mengalami kerugian besar,
yang tidak dapat dihapuskan dari cadangan perseroan. Jika terjadi hal demikian
perseroan harus mengadakan perubahan pada anggaran dasar perseroan, dengan
menurunkan nilai nominal dari sahamnya menjadi sama dengan kekayaan (equity) dan dari nilai nominal sahamnya
diturunkan secara proporsional.
2.
Saham
tukar, yaitu jenis saham yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan jenis saham
lain, biasanya saham preferen dengan saham biasa.
3.
Saham
tanpa suara, yaitu jenis saham yang pemiliknya tidak diberi hak suara pada
RUPS.
4.
Saham
tanpa pari, yaitu saham yang tidak memiliki nilai nominal atau pari, tetapi hak
pemilikannya dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh kekayaan dan
kemudian dibagi dengan jumlah saham yang dikeluarkan.
5.
Saham
preferen unggul, yaitu saham preferen yang hak prioritasnya lebih besar dari
preferen lain.
6.
Saham
preferen tukar, yaitu saham preferen yang dapat ditukar oleh pemiliknya dengan
saham biasa.
7.
Saham
preferen partisipasi, yaitu saham yang disamping hak prioritasnya masih dapat
turut serta dalam pembagian dividen selanjutnya.
8.
Saham
preferen kumulatif, yaitu saham preferen yang memberikan hak untuk mendapatkan
dividen yang belum dibayarkan pada tahun-tahun yang lalu secara kumulatif.
9.
Saham
pendiri, yaitu jasa yang diberikan oleh perusahaan, baik berupa penyertaan
modal yang bersumberkan dari penarikan beberapa peserta lainnya atau dari
relasi penting lain, biasanya dihargai perseroan dengan memberikan kepada yang
bersangkutan (memiliki saham).
10.
Saham
pegawai, yaitu kesempatan yang diberikan oleh perseroan kepada para pegawainya
untuk memiliki saham perusahaan.
11.
Saham
bonus, pada saat perbandingan antara cadangan dan saham modal yang tidak
berimbang pada suatu perseroan dapat dihilangkan dengan jalan memberikan saham
bonus kepada para pemegang saham dengan cuma-cuma.
Secara umum saham yang beredar pada
Bursa Efek Jakarta dapat ditinjau dari beberapa segi:[14]
1.
Ditinjau
dari segi bentuknya saham dapat dikategorikan atas:
·
Saham
atas nama, yaitu saham yang menyebut nama pemiliknya. Pencatatan saham ini
dicatat dalam daftar khusus. Para ahli fikih kontemporer yang menghalalkan
saham jenis ini sependapat bahwa penyebutan nama pemilik saham pada dokumen
saham menetapkan kepemilikan pemiliknya dan memberikan perlindungan atas
haknya. Hal ini berarti saham jenis ini diperbolehkan secara fikih Islam
(Ibrahim, 2003).
·
Saham
atas unjuk, yaitu saham yang tidak menyebut nama pemiliknya. Ada ahli fikih
kontemporer memandang saham ini batal. Karena ketidaktahuan siapa pembelinya.
Ketidaktahuan ini akan melenyapkan hak pemiliknya. Bagaimanapun juga, saham
seperti ini dihindari karena akan menimbulkan problema tentang kepemilikannya
atau pemulangannya kembali apabila hilang (Ibrahim. 2003).
2.
Dari
segi hak dan keistimewaannya:
·
Saham
biasa, semua ahli fikih kontemporer memandang saham biasa boleh, karena tidak
memiliki keistimewaan dari yang lain, baik hak maupun kewajibannya (Ibrahim,
2003).
·
Saham
preferen, saham ini memiliki keistimewaan khusus dari segi perlakuan maupun
dari segi finansial. Para ahli fikih kontemporer memandang saham jenis ini
harus dihindari karena tidak sesuai dengan ketentuan secara Islam, karena
pemilik saham ini mempunyai hak mendapatkan bagian dari kelebihan yang dapat
dibagikan sebelum dibagikan kepada pemilik saham biasa (Ibrahim, 2003). Konsep preferred stock atau saham istimewa
tidak diperbolehkan secara Islam karena dua alasan yang dapat diterima secara
konsep Islam, dua alasan tersebut adalah:
a.
Adanya
keuntungan tetap, yang dikategorikan oleh kalangan ulama sebagai riba.
b.
Pemilik
saham preferen mendapatkan hak istimewa terutama pada saat perusahaan
dilikuidasi. Hak tersebut dianggap mengandung unsur ketidakadilan.
D.
Karakteristik Saham Syariah
Data saham
merupakan bagian dari Daftar Efek Syariah (DES) yang dikeluarkan oleh
Bapepam-LK. Terdapat beberapa pendekatan untuk menyeleksi suatu saham apakah
bisa dikategorikan sebagai saham syariah atau tidak, yaitu:[15]
1.
Pendekatan jual beli. Dalam pendekatan ini
diasumsikan saham adalah asset dan dalam jual beli ada pertukaran asset ini
dengan uang. Juga bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja sama yang memakai
prinsip bagi hasil (profit-loss sharing).
2.
Pendekatan aktivitas keuangan atau produksi.
Dengan menggunakan pendekatan produksi ini, sebuah saham bisa diklaim sebagai
saham yang halal ketika produksi dari barang dan jasa yang dilakukan oleh
perusahaan bebas dari element-element yang haram yang secara eksplisit disebut
di dalam Al-Quran seperti riba, judi, minuman yang memabukkan, zina, babi dan
semua turunan-turunannya.
3.
Pendekatan pendapatan. Metode ini lebih melihat
pada pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan tersebut. Ketika ada pendapatan
yang diperoleh dari bunga (interest)
maka secara umum kita bisa mengatakan bahwa saham perusahaan tersebut tidak
syariah karena masih ada unsur riba disana. Oleh karena itu seluruh pendapatan
yang didapat oleh perusahaan harus terhindar dan bebas dari bunga atau
interest.
4.
Pendekatan struktur modal yang dimiliki oleh
perusahaan tersebut. Dengan melihat ratio hutang terhadap modal atau yang lebih
dikenal dengan debt/equity ratio.
Dengan melihat ratio ini maka diketahui jumlah hutang yang digunakan untuk modal
atas perusahaan ini. Semakin besar ratio ini semakin besar ketergantungan modal
terhadap hutang. Akan tetapi untuk saat ini bagi perusahan agak sulit untuk
membuat rasio ini nol, atau sama sekali tidak ada hutang atas modal. Oleh
karena itu ada toleransi-toleransi atau batasan seberapa besar “Debt to Equity ratio“ ini. Dan masing
masing syariah indeks di dunia berbeda dalam penetapan hal ini. Namun secara
keseluruhan kurang dari 45% bisa diklaim sebagai perusahaan yang memiliki saham
syariah.
Kriteria
saham-saham yang masuk dalam indeks syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) No. 20 adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan
dengan syariah seperti:[16]
1.
Usaha perjudian dan permainan yang
tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2.
Usaha lembaga keuangan konvensional
(ribawi), termasuk perbankan dan
asuransi konvensional.
3.
Usaha yang memproduksi,
mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
4.
Usaha yang memproduksi,
mendistribusi dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat.
Selain kriteria
di atas, kriteria emiten dilihat dari resiko keuangannya yang termasuk dalam
investasi Islami berdasarkan fatwa DSN adalah sebagai berikut:[17]
1.
Perusahaan yang mendapatkan dana pembiayaan
atau sumber dana dari utang tidak lebih dari 30% dari rasio modalnya.
2.
Pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan
tidak lebih dari 15%. Dalam Islam, barang haram dengan halal tidak dapat
dicampuradukkan.
3.
Perusahaan yang memiliki aktiva kas atau
piutang yang jumlah piutang dagangnya atau total piutangnya tidak lebih dari
50%.
Dengan
mengacu pada proses seleksi yang dilakukan terhadap saham-saham yang tercatat
pada JII, terlihat bahwa saham-saham JII tidak hanya sesuai dengan kriteria syariah
tetapi juga merupakan saham-saham pilihan.[18]
Karena
proses penyaringan yang ketat, tidak jarang emiten-emiten yang masuk kategori blue chip ditolak masuk JII. Contohnya
adalah saham Gudang Garam dan H. M Smpoerna, meskipun kedua perusahaan rokok
ternama ini memiliki nilai kapitalisasi yang besar (mencapai 17-20 % dari total
kapitalisasi pasar BEJ). Ia tidak lolos uji syariah karena tergolong usaha
produk barang yang bersifat mudarat.[19]
E.
Mekanisme Investasi Saham Syariah
Hukum investasi pada saham secara
resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip dasar modal
syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatangani nota kesepahaman
antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan
dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus
meningkat. Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal No.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli saham. Para ahli fiqih berpendapat bahwa
suatu saham dapat dikategorikan memenuhi prinsip syariah apabila kegiatan
perusahaan yang menerbitkan saham tersebut tidak tercakup pada hal-hal yang
dilarang dalam syariah Islam, seperti alkohol, perjudian, pornografi, jasa
keuangan yang bersifat konvensional, asuransi yang bersifat konvensional.[20]
Transaksi surat berharga syariah yang dilarang:[21]
1.
Pelaksanaan
transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak
diperbolehkan melakukan spekulasi
gambling (maisir) yang di dalamnya mengandung unsur gharar, masir, dan riba.
2.
Tidakan
yang dimaksud diatas meliputi:
a.
Najsy, yaitu
melakukan penawaran palsu.
b.
Bai’ al-ma’dum, yaitu
melakukan penjualan atas barang (efek syariah) yang belum dimiliki (short selling).
c.
Insider trading,
yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperolah keuntungan transaksi yang
dilarang.
d.
Menyebarluaskan
informasi yang menyesatkan untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang.
3.
Melakukan
investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi, tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga
keuangan ribawi lebih dominan dari
modalnya.
4.
Margin trading, yaitu
melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman atas kewajiban
penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut.
5.
Ihtikar (penumpukan),
yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek
Syariah, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
F.
Proses Pengambilan Keputusan Investasi Dalam Saham
Dalam melakukan invesasi pihak
investor akan mempertimbangkan banyak hal. Baik itu menyangkut kinerja
perusahaan ataupun perhitungan secara matematis mengenai tingkat return dan risk masing- masing saham. Dengan mempertimbangkan dilarangnya kita
untuk melakukan transaksi secara sembarangan (gharar), perlu dilakukan suatu analisis yang cukup terhadap
masing-masing saham. Ada dua macam tipe pemain saham menurut Subekti, yaitu
investor dan spekulan. Investor melakukan investasi jangka panjang dan berbasis
fundamental perusahaan, sedangkan spekulan berbasis pada pergerakan harga dalam
jangka waktu yang pendek. Tentunya hal-hal yang berbau spekulasi sangat
dilarang dalam syariah Islam, karena sama dengan judi.[22]
Pada dasarnya para investor memiliki
berbagai cara untuk mengembangkan modal yang mereka miliki pada industri pasar
modal. Hal ini berarti dalam berinvestasi pada suatu saham, pihak investor
tidaklah terpaku pada satu cara saja untuk melakukan investasi. Banyak cara
yang bisa dikombinasikan agar suatu investasi menjadi menguntungkan. Strategi
investasi ini sangat bergantung pada karakteristik dari pihak investor. Hal
yang sama juga dapat terjadi pada investasi saham syariah dalam pasar modal
syariah. Adapun karakteristik dari investor adalah:[23]
1.
Investor
bersifat risk averse. Investor jenis
ini merupakan investor yang sangat khawatir akan risiko investasinya. Investor
dengan jenis ini biasanya akan memilih investasi yang rendah walaupun dengan
tingkat resiko keuntungan yang kecil.
2.
Investor
bersifat risk medium. Investor jenis
ini biasanya akan melihat resiko investasi yang dihadapinya secara
proporsional. Mereka akan melakukan investasi dengan tingkat resiko yang sedang
dan dengan harapan akan mendapatkan keuntungan tertentu.
3.
Investor
bersifat risk taker. Investor jenis
ini merupakan tipikal investor yang berani mengambil resiko. Mereka akan
memilih model investasi dengan investasi yang diperkirakan akan menghasilkan
tingkat keuntungan yang tinggi serta tidak memedulikan konsekuensi resiko yang
dihadapi olehnya.
Adapun pedoman yang perlu dilakukan
ketika seorang investor akan memilih saham adalah:[24]
1.
Memilih
saham yang memiliki nilai undervalued, atau
nilai saham lebih tinggi dari harga saham terssebut. Saham jenis ini akan lebih
memberikan kesempatan sebagai pemenang dalam kegiatan investasi dan lebih kecil
tingkat resikonya dibandingkan saham yang overvalued.
2.
Memilih
saham yang aman untuk ditransaksikan. Jangan memilih saham yang harganya mudah
naik dan turun, sehingga sebagai seorang investor kita disarankan untuk memilih
saham yang tingkat fluktuasinya rendah dan juga memiliki harga yang stabil.
3.
Investor
sebaiknya memilih saham yang harganya sedang naik. Hal ini merupakan strategi
yang paling baik. Jadi bukan dengan strategi membeli saham dengan harga yang
rendah.
Sedangkan menurut Tandelilin ada
lima tahap dasar dalam melakukan investasi sebagaimana berikut:[25]
1.
Menetapkan
tujuan investasi.
Tahap pertama dalam proses keputusan investasi adalah menentukan
tujuan investasi yang akan dilakukan. Tujuan investasi masing-masing investor
bisa berbeda-beda tergantung pada investor yang membuat keputusan tersebut.
Misalnya bagi institusi penyimpanan dana seperti bank misalnya, mempunyai
tujuan untuk memperoleh return yang
lebih tinggi diatas biaya investasi yang dikeluarkan. Biasanya mereka lebih
menyukai investasi pada sekuritas yang mudah diperdagangkan ataupun pada
penyaluran kredit yang lebih berisiko tetapi memberikan return yang tinggi.
2.
Penentuan
kebijakan investasi.
Tahap kedua ini merupakan tahap penentuan kebijakan untuk memenuhi
tujuan investasi yang telah ditetapkan. Tahap ini dimulai dengan keputusan
alokasi asset. Keputusan ini menyangkut pendistribusian dana yang dimiliki pada
berbagai klas-klas asset yang tersedia (saham, obligasi, real estate ataupun sekuritas luar negeri). Investor juga harus
memperhatikan berbagai batasan yang mempengaruhi kebijakan investasi seperti
seberapa besar dana yang dimiliki dan porsi pendistribusian dana tersebut serta
beban pajak dan pelaporan yang harus ditanggung.
3.
Pemilihan
strategi portofolio.
Strategi portofolio yang dipilih harus konsisten dengan dua tahap
sebelumnya. Ada dua strategi portofolio yang bisa dipilih, yaitu strategi
portofolio aktif dan strategi portofolio pasif. Strategi portofolio aktif
meliputi kegiatan penggunaan informasi yang tersedia dan teknik-teknik
peramalan secara aktif untuk mencari kombinasi portofolio yang lebih baik.
Strategi portofolio pasif meliputi aktivitas investasi pada portofolio yang
seiring dengan kinerja indeks pasar. Asumsi strategi pasif ini adalah bahwa semua informasi yang tersedia, diserap
pasar dan direfleksikan pada harga saham.
4.
Pemilihan
asset.
Setelah tahap pemilihan strategi portofolio selesai dilakukan, maka
tahap selanjutnya adalah pemilihan asset yang akan dimasukkan dalam portofolio.
Tahap ini memerlukan pengevaluasian setiap sekuritas yang ingin dimasukkan
dalam portofolio. Tujuannya, untuk mencari kombinasi yang efisien, yaitu
portofolio yang menawarkan return
diharapkan tertinggi dengan tingkat resiko tertentu atau sebaliknya menawarkan return diharapkan tertentu dengan
tingkat resiko terendah.
5.
Pengukuran
dan evaluasi kinerja portofolio.
Tahap
ini merupakan tahap terakhir dari proses keputusan investasi, namun jika dalam
tahap pengukuran dan evaluasi kinerja telah dilewati dan ternyata hasilnya
kurang baik, maka proses pengambilan keputusan investasi harus dimulai lagi
dari tahap pertama. Sehingga akan dicapai keputusan investasi yang paling
optimal. Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja ini meliputi pengukuran kinerja
portofolio dan membandingkan hasil pengukuran tersebut dengan kinerja
portofolio lainnya melalui proses benchmarking.
Proses benchmarking ini biasa
dilakukan terhadap indeks pasar, untuk mengetahui seberapa baik kinerja
portofolio yang telah ditentukan dibandingkan kinerja portofolio lainnya.
Menurut
Sharpe (2005 : 10-13) proses investasi menunjukkan bagaimana seharusnya seorang
investor membuat keputusan investasi sekuritas yang bisa dipasarkan, seberapa
ekstensif dan kapan sebaiknya dilakukan. Untuk mengambil keputusan tersebut
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Penentuan Kebijakan Investasi
Langkah pertama, menentukan kebijakan
investasi, meliputi penentuan tujuan investor dan dan banyaknya kekayaan yang
dapat diinvestasikan. Karena terdapat hubungan positif antara risiko dan return
untuk strategi investasi, bukan suatu hal yang tepat bagi seorang investor
untuk berkata bahwa tujuannya adalah “memperoleh banyak keuntungan”. Yang tepat
bagi seorang investor dalam kondisi seperti ini adalah menyatakan tujuannya
untuk memperoleh banyak keuntungan dengan memahami bahwa ada kemungkinan
terjadinya kerugian. Tujuan investasi seharusnya dinyatakan dalam risiko maupun
return.
2.
Melakukan Analisis Sekuritas
Langkah kedua dalam proses investasi adalah
melakukan analisis sekuritas, yang meliputi penelitian terhadap sekuritas
secara individual (atau beberapa kelompok sekuritas) yang masuk ke dalam
katagori luas aset keuangan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Salah satu
tujuan melakukan penilaian tersebut adalah untuk mengidentifikasi sekuritas
yang salah harga (mispriced).
Ada banyak pendekatan terhadap analisis
sekuritas, namun pendekatan tersebut dapat dikatagorikan ke dalam dua
klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah analisis teknikal, analisis yang
memakai pendekatan ini untuk analisis sekuritas disebut analisis teknis atau
analisis teknikal. Klasifikasi kedua disebut analisis fundamental.
3.
Membentuk Portofolio
Langkah ketiga dalam proses investasi,
pembentukkan (penyusunan) portofolio, melibatkan identifikasi aset–aset khusus
mana yang akan dijadikan investasi, juga menentukan besarnya bagian kekayaan investor
yang akan diinvestasikan ke tiap aset tersebut. Di sini masalah selektifitas,
penentuan waktu dan diversifikasi perlu menjadi perhatian bagi investor.
4.
Merevisi Portofolio
Langkah keempat dalam proses investasi, revisi
portofolio, berkenaan dengan pengulangan periodic dari tiga langkah sebelumnya.
Yaitu, dari waktu ke waktu, investor mungkin mengubah tujuan investasinya, yang
pada gilirannya berarti portofolio yang dipegangnya tidak lagi optimal. Oleh
karena itu, investor membentuk portofolio baru dengan menjual portofolio yang
dimilikinya dan membeli portofolio lain yang belum dimiliki.
5.
Mengevaluasi Kinerja Portofolio
Langkah kelima dalam proses investasi, evaluasi
kinerja portofolio, meliputi penentuan kinerja portofolio secara periodic,
tidak hanya berdasarkan return yang dihasilkan tetapi juga risiko yang dihadapi
investor. Jadi diperlukan ukuran yang tepat tentang return dan risiko dan juga
standar (benchmark) yang relevan.
Dari pemaparan
diatas pada dasarnya tujuan investasi adalah untuk menghasilkan sejumlah uang.
Tujuan investasi yang lebih luas sebenarnya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan investor. Kesejahteraan dalam hal ini adalah kesejahteraan
moneter, yang biasa diukur dengan penjumlahan pendapatan saat ini ditambah
nilai pendapatan di masa datang.
G.
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Fluktuasi Harga Saham
Harga saham selalu mengalami perubahan setiap harinya. Oleh karena
itu, investor harus mampu memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi harga
saham. Faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi harga saham dapat berasal dari
internal maupun eksternal.[26]
Adapun
faktor internalnya antara lain adalah laba perusahaan, pertumbuhan aktiva
tahunan, likuiditas, nilai kekayaan total, dan penjualan. Sementara itu, faktor
eksternalnya adalah kebijakan pemerintah dan dampaknya, pergerakan suku bunga,
fluktuasi nilai tukar mata uang, rumor dan sentiment pasar, dan penggabungan
usaha (Business Combination). Pada
umumnya saham yang diterbitkannya oleh sebuah perusahaan (emiten) yang
melakukan penawaran umum ada dua macam yaitu saham biasa (common stock) dan saham istimewa (preferred stock).
[1] Mohammad Heykal. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah.
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 42-44
[2] http://economy.okezone.com/read/2013/01/16/278/747126/makin-diminati-investor-saham-syariah-melambung-62, diakses pada 27 Mei 2013
[3] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), 135
[4] Ade Arthesa dan Edia Handiman. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
(Jakarta: Indeks. 2009), 229
[5] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), 135-136
[6] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2013/01/04/artikel-saham-syariah/ (diakses
pada tgl 4 April 2013)
[9] Burhanudin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), 136
[10]
http://www.idx.co.id/id-id/beranda/informasi/bagiinvestor/saham.aspx,
(diakses pada tanggal 4 April 2013)
[11] Mohammad Heykal, Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah
(Jakarta: Elex Media Komputindo. 2012), 41
[12] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi Pada Pasar Modal Syariah (Jakarta: Kencana. 2007), 59-60
[13]Nurul
Huda dan Moh Heykal. Lembaga Keuangan
Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Kencana. 2010) , 228-229
[14] Ibid, 229-231
[15] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2013/01/04/artikel-saham-syariah/ (diakses pada tgl 4 April
2013)
[17] Ibid, 84
[18] Edwin Nasution, Mustafa, et.al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana. 2007), 308
[21] Ibid, 103-104
[23] Mohammad Heykal. Tuntunan dan Aplikasi Investasi Syariah.
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 50
[24] Ibid, 51