A.
Pengertian Obligasi Syariah
Dalam
konsep ekonomi Islam, obligasi merupakan salah satu instrument investasi,
transaksi/akadnya sesuai dengan sistem pembiayaan dan pendanaan dalam perbankan
syariah, dengan tujuan untuk menerima kebutuhan produksi, yakni dengan adanya
keperluan penambahan modalnya mengadakan rehabilitasi perluasan usaha, ataupun
pendirian proyek baru dengan ciri-ciri untuk pengadaan barang-barang modal,
mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan tertata, serta mempunyai
jangka waktu menengah dan panjang.[1]
Sementara
itu Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan “Obligasi
syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”[2]
Merujuk pada Fatwa DSN tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan obligasi syariah
ini menggunakan akad antara lain: akad musyarakah, mudarabah, murabahah,
salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal
(investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah.[3]
B.
Karakteristik Obligasi Syariah
Obligasi
syariah memiliki beberapa karakteristik.[4]
Pertama, Obligasi
syariah menekankan pendapatan investasi bukan berdasar kepada tingkat bunga
(kupon) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat pendapatan dalam obligasi
syariah berdasar kepada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya
telah disepakati oleh pihak emiten dan investor.
Kedua, dalam
sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak Wali Amanat maka mekanisme
obligasi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (di bawah Majelis
Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa
penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip
kehati-hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syariah diharapkan bisa
lebih terjamin.
Ketiga, jenis
industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit
obligasi harus terhindar dari unsur non halal.
Secara
umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah sebagai berikut :[5]
a. Obligasi syariah haruslah berdasarkan konsep syariah
yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi
hasil atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat jatuh
tempo
b. Obligasi syariah mudharabah yang diterbitkan
harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan yang telah disepakati
sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsur non halal
c. Nisbah (rasio
bagi hasil) harus ditentuakan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi
tersebut
d. Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodic atau sesuai ketentuan bersama,
dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan
e. Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli
Syariah yang ditunjuk oleh DSN MUI
f. Apabila perusahaan penerbit obigasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat
perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat
pengakuan utang
g. Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji
maka pihak investor dapat menarik dananya
h. Hak kepemilikan obligasi syariah mudharabah
dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.
C.
Jenis Obligasi Syariah
Melalui Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002, DSN
sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada
investor pemegang Obligasi Syariah. Pertama, adalah berupa bagi hasil
kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan
berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam, atau Istshna’.
Ketiga, berupa fee (sewa) dari asset yang disewakan untuk
pemegang Obligasi dengan akad ijarah.
Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan
menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna’, salam dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen
obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan instrumen prinsip mudharabah
dan ijarah :[6]
a.
Obligasi Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah
yang mengunakan akad mudharabah. Akad mudharabah adalah akad
kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal /investor) dengan pengelola (mudharib/emiten).
Ikatan atau akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan
atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik
harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana
secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif
dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib/emiten)
memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri.
Dalam Fatwa No. 33 / DSN-MUI / X / 2002 tentang
obligasi syariah mudharabah, dinyatakan antara lain bahwa:[7]
a. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang
obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang obligasi syariah merupakan bagi hasil, margin atau fee
serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo
b. Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi
syariah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi
fatwa DSN-MUI No. 7 / DSN-MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
c. Obligasi mudharabah emiten bertindak sebagai
mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi mudharabah
bertindak sebagai shahibul maal (pemodal)
d.
Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah
e.
Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad
f. Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian,
emiten wajib menjamin pengambilan dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat
surat pengakuan utang
g. Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindahtangankan
selama disepakati dalam akad
Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan
struktur obligasi mudharabah, di antaranya :
a. Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk
pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka
waktu yang relatif panjang
b. Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan
untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja
ataupun capital expenditure
c. Mudharabah merupakan percampuran kerjasama antara
modal dan jasa (kegiatan usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan
untuk tidak
memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda
dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan
atas aset yang didanai
d. Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan
struktur murabahah dan ba’i bi’tsaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Meskipun telah berhasil diterbitkan, namun obligasi
syariah Mudharabah menghadapi beberapa kendala. Kendala ini bervariasi
sehingga diperlukan upaya pembenahan untuk dapat lebih efektif
sebagaimana yang bentuk aslinya. Kendala tersebut antara lain :[8]
1.
Syariah
a. Revenue
dan Profit sharing
Masalah syariah yang muncul bersama Obligasi Mudharabah
adalah masalah distribusi pendapatan, apakah menganut profit sharing
atau revenue sharing. Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang
Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa
Revenue Sharing lebih maslahat digunakan dalam pembagian
pendapatan. Tidak banyak yang tahu bahwa pemilihan revenue sharing
sebagai sistem yang lebih maslahat merujuk kepada dimensi waktu ketika fatwa
itu ditetapkan. Pada saat itu apabila bagi untung diterapkan maka tingkat
keuntungan yang diberikan bank syariah kepada nasabah akan lebih kecil dari
tingkat suku bunga di pasar.
Penyebutan revenue sharing (bagi
hasil) sendiri sebenarnya kurang tepat bila mengacu kepada mudharabah karena istilah yang digunakan dalam bahasa Arabnya
adalah “ribh” yang berarti keuntungan. Dan mudharabah adalah akad
usaha yang apabila mendapat keuntungan (ribh) -yang berarti pendapatan
dikurangi biaya- dibagi menurut kesepakatan di muka antara sahibul mal
dan mudharib.
b. Profit
Kuartal sebelumnya
Masalah kedua adalah ketika penerbitan obligasi mudharabah
dilakukan, perusahaan memerlukan jangka waktu tertentu untuk menggunakan dana
itu dalam usahanya agar mendapatkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada pemegang
obligasi. Padahal tradisi yang berlaku dalam obligasi mengharuskan perusahaan
membayar kupon (bunga) setiap tiga bulan.
2.
Finance
Masalah terbesar yang masih dihadapi oleh praktek
keuangan Islam, termasuk di dalamnya perbankan, adalah belum ada ukuran (benchmark)
untuk melakukan discounting, terutama ketika sebuah obligasi syariah
akan dilepas ke pasar sekunder.
3. Legal
Belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang
Obligasi syariah
dari otoritas yang berwenang. Sehingga ketentuan tentang obligasi syariah
mengacu kepada ketentuan tentang obligasi konvensional.
4. Akuntansi
Perlakuan akuntansi oleh para penerbit masih
diperlakukan sebagai hutang. Tidak seperti dalam perbankan yang telah memiliki
standar akuntansi tersendiri untuk perbankan syariah pasar modal syariah belum
memiliki standar akuntansi tersendiri. Praktek akuntansi yang digunakan para
pelaku pasar mengacu kepada standar akuntansi perusahaan. Akibatnya pencatatan
obligasi mudharabah diakui sebagai hutang yang diterima perusahaan
melalui penjualan surat berharga, sedangkan oleh pemegang obligasi sebagai
piutang yang dimiliki karena membeli surat berharga.
Contoh
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah
menerbitkan Obligasi mudharabah
senilai Rp. 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%)
dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun
yang dicatatkan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil bedasarkan
pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain
yang beroperasi unttuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah
setiap tahun sesuai pendapatan.[9]
b. Obligasi Ijarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah
berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta
memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan
sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan
kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak
sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat
tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah, telah
ditegaskan beberapa hal mengenai obligasi syariah ijarah, sebagai
berikut :[10]
1. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada
pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dan obligasi pada saat jatuh tempo
2. Obligasi
syariah ijarah adalah obligasi syariah bedasarkan akad ijarah dengan memperhatikan
substansi Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2009 tentang pembiayaan ijarah
3. Pemegang
obligasi syariah ijarah
(OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir
(penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai mu’jir (pemberi sewa)
4. Emiten
dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan
kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Secara
teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Investor
dapat bertindak sebagai penyewa (musta’jir) sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil
investor. Dan properyowner, dapat bertindak sebagai orang yang
menyewakan (mu’jir).
Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama
terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya
kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa
menyewa dengan propertyowner dengan akad ijarah. Selanjutnya,
transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor) dengan propertyowner
(sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi sewa menyewa (ijarah)
b. Setelah
investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa
tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka diterbitkanlah surat
berharga jangka panjang (obligasi syariah ijarah), dimana atas penerbitan obligasi tersebut, emiten
waib membayar pendapatan kepada investor berupa fee serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Seperti juga dalam obligasi syariah mudharabah, obligasi syariah ijarah
menghadapi tantangan dan kendala yang tidak sedikit. Berikut ini adalah
diantaranya:
1.
Syariah
Ada beberapa isu syariah yang menjadi perdebatan dalam penerbitan
obligasi syariah ijarah:
-
Wakil yang kemudian menjadi penyewa
Dalam salah satu modus obligasi syariah ijarah,
emiten bertindak pertama kali selaku wakil dari pemegang obligasi syariah untuk
menyewa/membeli asset dari pihak ketiga. Lalu setelah transaksi itu dilakukan,
emiten bertindak selaku penyewa.
Sebenarnya pola ini adalah pola umum yang terjadi
dalam perbankan syariah, terutama murabahah, dimana bank mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang yang akan dibelinya sendiri dari bank. Hal
ini dilakukan mengingat adanya berbagai kendala di sisi perpajakan dan legal sistem.
-
Penyewa yang menyewakan
Di salah satu modus yang lain dari obligasi syariah
ijarah, terdapat struktur dimana pihak penyewa menyewakannya kembali
kepada pihak ketiga. Dalam literatur syariah kasus ini dikenal dengan Almustajir
yu’jir. Sebagian besar ulama membolehkan praktek ini dengan syarat bahwa
penyewa kedua hanya bertanggungjawab kepada penyewa pertama.
-
Tingkat sewa berubah menurut kesepakatan
Nilai sewa yang berubah-ubah setelah jangka waktu
tertentu. Dikhawatirkan hal ini mengakibatkan emiten membayar harga yang lebih
tinggi tanpa diduga sebelumnya. Kondisi seperti ini lazim dalam syariah disebut
gharar (ketidaktahuan/ketidaktentuan) salah satu kondisi yang
menyebabkan sebuah akad batal demi hukum, karena dikhawatirkan merugikan salah
satu pihak.
Sebagian ulama modern membolehkan sewa ijarah
berubah menurut jangka waktu tertentu, apabila disepakati oleh kedua belah
pihak, tanpa harus menghentikan akad dan memulainya dengan akad baru
berdasarkan tingkat sewa baru.
2.
Finance Reference
Untuk menentukan tingkat fee
ijarah (sewa) belum tersedia. Seringkali para praktisi obligasi syariah
merujuk kepada tingkat keuntungan di pasar uang, yang tentunya berdasarkan suku
bunga pinjaman untuk berbagai jangka waktu.
3.
Legal
Seperti halnya obligasi syariah mudharabah,
sampai saat ini belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang obligasi syariah ijarah. Padahal seperti yang dikemukakan di muka, ada
beberapa perbedaan fundamental antara obligasi yang berdasarkan syariah dengan
obligasi biasa.
4.
Pajak
Kendala lainnya adalah pengenaan pajak kepada sewa
guna karena ia merupakan obyek pajak. Akibatnya, penerbitan obligasi syariah
selau dibayangi kekhawatiran akan pengenaan pajak atas fee ijarah
(sewa).
5.
Akuntansi
Sebagaimana halnya dalam mudharabah, belum ada ketentuan akuntansi yang mengatur dan
mengikat para emiten dan pemegang obligasi syariah tentang perlakukan obligasi syariah ijarah. Perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah ijarah
adalah surat berharga yang diterbitkan pada pembukuan emiten, sedangkan untuk
pemegang obligasi, obligasi syariah ijarah adalah surat berharga yang
dibeli.
Contoh
Penerapan
akad ijarah untuk obligasi syariah dapat merujuk pada penerbitan
obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini
mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan
untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah,
dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa
adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan
Matahari sesuai dengan akad wakalah,
dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee
ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada
saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.[11]
Tabel
1. Ringkasan Obligasi
Obligasi Konvensional
|
Syariah Mudharabah
|
Syariah Ijarah
|
|
Akad (transaksi)
|
Tidak ada
|
Mudharabah/Bagi hasil
|
Ijarah / sewa
|
Jenis Transaksi
|
-
|
Uncertainty Contract
|
Certainty Contract
|
Sifat
|
Surat Hutang
|
Investasi
|
Investasi
|
Harga Penawaran
|
100%
|
100%
|
100%
|
Pokok Obligasi saar Jatuh Tempo
|
100%
|
100%
|
100%
|
Kupon
|
Bunga
|
Pendapatan/Bagi hasil
|
Imbalan / fee
|
Return
|
Float / Tetap
|
Indikatif berdasarkan Pendapatan/Income
|
Ditentukan seelumnya
|
Fatwa DSN
|
Tidak ada
|
NO. 33/DSN-MUI/IX/2002
|
No. 41/SN-MUI/III/2004
|
Jenis Investor
|
Konvensional
|
Syariah/Konvensional
|
Syariah/Konvensional
|
c.
Obligasi Syariah Istishna’
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan
berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak
menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Berikut
Ketentuan Umum obligasi syariah.[12]
a.
Pelaksanaan obligasi syariah mulai dari awal sampai
akhir harus terhindar dari format dan substansi akad yang berkaitan
dengan riba (pembungaan uang) dan gharar
b.
Transaksi obligasi syariah harus berdasarkan konsep
muamalah yang sejalan syariah seperti akad kemitraan (musyarakah
dan mudharabah), jual beli barang (murabahah, salam, dan istishna)
c.
Bagi hasil pada akad kemitraan, fee pada
akad ijarah, dan harga (modal dan margin) pada akad jual beli harus
ditentukan secara jelas pada awal transaksi (prospectus atau sertifikat)
d.
Usaha yang dilakukan emiten (originator)
berhubungan dengan dana sukuk yang dikelola harus terhindar dari semua
unsur-unsur non halal
e.
Pemberian pendapat dapat dilakuakan secara periodek
(sesuai karakteristik masing-masing akad)
f.
Tidak semua sertifikat sukuk dapat diperjualkan
dan tidak semua pendapat dapat bersifat mengambang (floating) atau
indikatif
g.
Pengawasan terhadap pelaksanaa dilaksanakan oleh
Dewan Pengawas Syariah dari aspek syariah, dan oleh wali amanat atau SPV dari
segi operasional lapangan khususnya terhadap usaha emiten
h.
Apabila emiten melakukan kelalaian atau melanggar
syarat perjanjian, dilakukan pengembalian dana investor dan dibuat surat
pengakuan utang,
i.
Jasa asuransi syariah dapat digunakan untuk sebagai
alat perlindungan resiko aset sukuk.
Ada beberapa akad penting lainnya yang dapat
menjadi basis pengembangan obligasi syariah:[13]
1. Musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan
2. Murabahah adalah akad jual beli barang dimana pembeli dapat
membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah
disepakati. Penjual dapat menambah marjin pada harga pokok barang yang dijual
tersebut
3. Salam merupakan kontrak jual beli barang dengan cara
pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Karena akad tersebut banyak,
namun sampai saat ini baru dua jenis obligasi syariah yang sedang
berkembang di Indonesia, yaitu: obligasi mudharabah dan ijarah.
Keduanya sesuai kaidah syariah namun berbeda dalam penghitungan, penilaian
dan pemberian hasil (return).
D.
Struktur dan Kinerja Obligasi Syariah[14]
a.
Struktur Obligasi Syariah
Obligasi syari’ah sebagai bentuk pendanaan (financing)
dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk
stuktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan
pengertian tersebut obligasi syariah dapat memberikan :
1. Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah /
muqaradah / qiradh atau
musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau
keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term
indicative (indiaksi waktu) / expected return (tingkat pengembalian
yang diharapkan) karena sifatnya yang floating (mengambang) dan
tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2. Margin/fee
berdasarkan akad murabahah atau
salam atau istishna atau ijarah, dengan kadar murabahah/salam/istihna
sebagai benmtuk jual beli dengan skema cost plus basis, (penambahan
biaya) obligasi jenis ini akan memberikan fixed return (pengembalian
tetap).
b. Kinerja Obligasi Syariah
Diawali dengan gebrakan Indosat pada akhir
2002 bahkan sebelum Pasar Modal Syariah resmi berdiri, yang menerbitkan obligasi syariah
mudarabah senilai Rp. 175 miliar, instrumen ini menarik perhatian pelaku
pasar modal. Obligasi syariah mudarabah indosat memberikan nisbah bagi hasil
indikatif sebesar 15,5 % hingga 16 % pertahun. Nisbah bagi hasil ini berarti
sama dengan rate yang diberikan oleh
obligasi Indosat
konvensional. Bedanya nisbah obligasi syariah
bersifat indikatif (bisa berubah tapi cenderung stabil), sedangkan nisbah obligasi
konvensional bersifat tetap.
Penawaran obligasi syariah Indosat ini mengalami kelebihan permintaan (over sub scri bed) sampai 2x lebih.
Jumlah nilai obligasi syariah Indosat dinyatakan sebanyak-banyaknya Rp. 100 miliar, sampai akhir book building jumlah yang masuk Rp. 200
miliar. Kenyataan ini cukup menggembirakan karena sebelumnya banyak pihak yang
skeptis menyambut kemunculan Islamic Bond
pertama di Indonesia.
Karena
berhasilnya penerbitan obligasi dari Indosat, maka pada 2003 mulailah sejumlah
perusahaan menerbitkan instrumen sejenis, yakni PT. Ciliandra Perkasa, PT.
Pembangunan Perumahan, PT. Berlian Laju Tanker, dan PT. Sinar Baru Lampung.
Tentu saja tak ketinggalan sejumlah lembaga keuangan syariah seperti Bank Muamalah, Bank Syariah Mandiri, dan Bank
Bukopin Syariah.
c. Penerbit Obligasi
Penerbit obligasi ini sangat luas sekali, hampir setiap badan hukum dapat menerbitkan obligasi, namun peraturan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan obligasi ini sangat ketat sekali. Penggolongan penerbit obligasi biasanya terdiri atas:[15]
- Lembaga supranasional, seperti misalnya Bank Investasi Eropa (European Investment Bank) atau Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
- Pemerintah suatu negara, menerbitkan obligasi pemerintah dalam mata uang negaranya maupun obligasi pemerintah dalam denominasi valuta asing yang biasa disebut dengan obligasi internasional (sovereign bond)
- Sub-sovereign, propinsi, Negara atau otoritas daerah. Di Amerika dikenal sebagai obligasi daerah (municipal bond). Di Indonesia dikenal sebagai Surat Utang Negara (SUN)
- Lembaga pemerintah, obligasi ini biasa juga disebut agency bonds, atau agencies
- Perusahaan yang menerbitkan obligasi swasta
- Special purpose vehicles adalah perusahaan yang didirikan dengan suatu tujuan khusus guna menguasai asset tertentu yang ditujukan guna penerbitan suatu obligasi yang biasa disebut Efek Beragun Aset
Dalam setiap investasi untuk mendapatkan keuntungan selalu muncul potensi
adanya risiko kerugian yang akan timbul apabila target keuntungan investasi
tersebut tidak sesuai dengan yang direncanakan dan yang diinginkan. Setiap
tindakan investasi mempunyai tingkat risiko dan keuntungan yang berbeda-beda.
Ada karakter investor yang menginginkan tingkat keuntungan yang cukup tinggi di
atas rata-rata keuntungan normal sehingga harus siap mendapatkan potensi
tingkat risiko yang tinggi juga. Begitu juga ada investor yang mengharapkan
tingkat keuntungan yang relatif sedikit cenderung akan mendapatkan tingkat
risiko yang relatif kecil juga.
Untuk melakukan investasi obligasi, akan timbul beberapa jenis risiko
investasi yang berbeda hasilnya serta bisa berpengaruh dan berkaitan satu
dengan yang lain. Setiap risiko hendaknya dipahami sebab akibatnya. Aspek
penanganannya juga harus dikuasai penuh oleh investor obligasi. Dengan
pemahaman yang luas tentang risiko investasi obligasi, tingkat keuntungan yang
diharapkan bisa dicapai secara maksimal dan tingkat kerugian yang tidak
diinginkan dapat dikurangi.
1. Interest Rate Risk
Salah satu faktor penentu apakah harga obligasi menarik atau tidak adalah
tingkat suku bunga yang diberikan kepada investor obligasi. Apabila tingkat suku bunga lebih tinggi dari
kupon/bagi hasil obligasi maka investor cenderung menyimpan dananya pada produk
deposito ketimbang membeli obligasi, tentunya harga obligasi cenderung turun
begitu pula sebaliknya. Seorang bond trader harus mampu melakukan
antisipasi trend kenaikan tingkat suku bunga untuk menghindari kerugian yang
bisa terjadi pada saat jual/beli obligasi tersebut.
2. Liquidity Risk
Untuk mengantisipasi kenaikan nilai suatu obligasi, harus dipastikan bahwa
investor yang akan membeli atau menjual obligasi memilih obligasi yang sangat liquid.
Artinya obligasi tersebut cukup banyak beredar. Obligasi yang sangat liquid
akan sangat menguntungkan.
3. Foreign Exchange Rate Risk
Perdagangan pasar uang sangat global dan luas sekali jangkauannya sehingga
tingat jangkauan perdagangan produk keuangan di luar negeri sangat mempengaruhi
likuiditas produk fixed income di dalam negeri. Pergerakan kurs valas
sangat menentukan harga dan perdagangan di pasar obligasi juga. Dengan tidak
stabilnya fluktuasi kurs valas maka otomatis perdagangan obligasi juga ikut
terpengaruh, bisa naik bisa turun.
4. Default Risk
Risiko yang terjadi akibat kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran bunga/ bagi hasil/ bonus atau prinsipal pada saat jatuh tempo.
5. Inflation Risk
Risiko akibat fluktuasi tingkat inflasi.
-
Perubahan Nilai Obligasi
Nilai obligasi adalah nilai sekarang dari tingkat suku bunga
yang akan diterima kemudian serta nilai pari atau nilai jatuh tempo obligasi. Dengan menyusun arus kas ini,
dan menggunakan tingkat pengembalian
yang diinginkan investor sebagai tingkat diskonto,
kita dapat menentukan nilai obligasi.[17]
Terdapat tiga elemen penting
Ø Jumlah dan waktu dari arus kas yang akan diterima investor
Ø Tanggal jatuh tempo obligasi
Ø Tingkat pengembalian yang diinginkan investor
-
Penilaian Obligasi
Ø Nilai obligasi berbanding terbalik dengan perubahan tingkat pengembalian yang diinginkan investor (tingkat suku bunga saat ini).
Dengan kata lain ketika tingkat suku bunga meningkat (menurun), nilai obligasi menurun
(meningkat)
Ø Nilai pasar dari sebuah obligasi akan lebih kecil dari nilai parinya jika tingkat pengembalian yang diinginkan investor lebih besar dari suku bunga obligasi;
namun obligasi akan dinilai lebih tinggi dari nilai pari jika tingkat pengembalian
yang diinginkan investor lebih kecil dari tingkat suku bunga obligasi
Ø Semakin dekat tanggal jatuh tempo obligasi, maka nilai pasar dari obligasi tersebut akan semakin mendekati nilai parinya
Ø Obligasi jangka panjang memiliki resiko tingkat suku bunga yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi jangka pendek
Ø Sensitivitas nilai obligasi terhadap perubahan tingkat suku bunga tidak hanya tergantung pada lamanya waktu jatuh tempo, tetapi juga pada pola arus kas yang dihasilkan oleh obligasi tersebut.
-
Jangka Waktu, Nilai &Rate of Return (Tingkat
Pengembalian)[1]
Ø Ukuran tingkat reaksi harga obligasi terhadap perubahan tingkat bunga. Juga, pertimbangan waktu rata-rata
jatuh tempo dengan bobot tertimbang tiap-tiap tahun adalah nilai sekarang arus kas untuk tahun itu.
Ø Dalam menaksir sensitivitas suatu obligasi terhadap perubahan tingkat suku bunga, durasi obligasi merupakan alat ukur yang lebih tepat, bukan jangka waktu jatuh temponya.
[1]Syafi’I
Antonio, Bank Syari’ahdariTeorikePraktek (Jakarta: GemaInsani, 2001),
167
[2]Nurul Huda dan
Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah (Jakarta;
Kencana Prenada Media Group, 2007), 85-86
[3] M.
IrsanNasrudindanIndra Surya, AspekHukumPasar Modal Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2004), 206
[4] Nurul Huda dan
Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah, 82
[5] Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis
(Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010), 245-246
[8] Cecep
Maskanul Hakim, “Obligasi Syari’ah di Indonesia: Kendala dan Prospek”, dalam http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2009/02/obligasi-syariah-di-indonesia-kendala.html
(20 Maret 2010)
[9] Zudin,”Konsultasi Muamalat”, dalam http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2008/03/11/obligasi-syariah-sukuk-untuk-pembiayaan-infrastruktur-tantangan-dan-inisiatif-strategis/
[10] http://www.scribd.com/doc/8584138/Kumpulan-Fatwa-DSNMUI-20002007.Tanggalakses
07 April 2013 jam 14.10 WIB
[11] Zudin,”Konsultasi Muamalat”, dalam http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2008/03/11/obligasi-syariah-sukuk-untuk-pembiayaan-infrastruktur-tantangan-dan-inisiatif-strategis/
[12] Abdul Manan,
Aspek Hukum Dalam Penyelengaraan Investasi di
Pasar Modal Syariah Indonesia. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2009), 135
[13] Zudin,”Konsultasi Muamalat”, dalam http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2008/03/11/obligasi-syariah-sukuk-untuk-pembiayaan-infrastruktur-tantangan-dan-inisiatif-strategis/
[14]Nurul Huda dan
Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah, 100-104
[15] Heri Sudarsono,Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Edisi 2
(Yogyakarta : Ekonisia, 2007), 223-224
[16] M. Nadjib, dkk, Investasi Syari’ah
(Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), 353-354
Tidak ada komentar:
Posting Komentar