Jumat, 01 November 2013

OBLIGASI SYARIAH



A.    Pengertian Obligasi Syariah
Dalam konsep ekonomi Islam, obligasi merupakan salah satu instrument investasi, transaksi/akadnya sesuai dengan sistem pembiayaan dan pendanaan dalam perbankan syariah, dengan tujuan untuk menerima kebutuhan produksi, yakni dengan adanya keperluan penambahan modalnya mengadakan rehabilitasi perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru dengan ciri-ciri untuk pengadaan barang-barang modal, mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan tertata, serta mempunyai jangka waktu menengah dan panjang.[1]
Sementara itu Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan “Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”[2] Merujuk pada Fatwa DSN tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan obligasi syariah ini menggunakan akad antara lain: akad musyarakah, mudarabah, murabahah, salam, istisna, dan ijarah. Emiten adalah mudharib sedang pemegang obligasi adalah shahibul mal (investor). Bagi emiten tidak diperbolehkan melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.[3]
B.     Karakteristik Obligasi Syariah
Obligasi syariah memiliki beberapa karakteristik.[4]
Pertama, Obligasi syariah menekankan pendapatan investasi bukan berdasar kepada tingkat bunga (kupon) yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat pendapatan dalam obligasi syariah berdasar kepada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati oleh pihak emiten dan investor.
Kedua, dalam sistem pengawasannya selain diawasi oleh pihak Wali Amanat maka mekanisme obligasi syariah juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (di bawah Majelis Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan adanya sistem ini maka prinsip kehati-hatian dan perlindungan kepada investor obligasi syariah diharapkan bisa lebih terjamin.
Ketiga, jenis industri yang dikelola oleh emiten serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsur non halal.
Secara umum, ketentuan mekanisme mengenai obligasi syariah sebagai berikut :[5]
a.    Obligasi syariah haruslah berdasarkan konsep syariah yang hanya memberikan pendapatan kepada pemegang obligasi dalam bentuk bagi hasil atau revenue sharing serta pembayaran utang pokok pada saat jatuh tempo
b.    Obligasi syariah mudharabah yang diterbitkan harus berdasarkan pada bentuk pembagian hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya serta pendapatan yang diterima harus bersih dari unsur non halal
c.     Nisbah (rasio bagi hasil) harus ditentuakan sesuai kesepakatan sebelum penerbitan obligasi tersebut
d.    Pembagian pendapatan dapat dilakukan secara periodic atau sesuai ketentuan bersama, dan pada saat jatuh tempo hal itu diperhitungkan secara keseluruhan
e.   Sistem pengawasan aspek syariah dilakukan oleh DPS atau oleh Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh DSN MUI
f.    Apabila perusahaan penerbit obigasi melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, wajib dilakukan pengembalian dana investor dan harus dibuat surat pengakuan utang
g.    Apabila emiten berbuat kelalaian atau cedera janji maka pihak investor dapat menarik dananya
h.   Hak kepemilikan obligasi syariah mudharabah dapat dipindahtangankan kepada pihak lain sesuai kesepakatan akad perjanjian.
C.    Jenis Obligasi Syariah
Melalui Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada investor pemegang Obligasi Syariah. Pertama, adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah, Salam, atau Istshna’. Ketiga, berupa fee (sewa) dari asset yang disewakan untuk pemegang Obligasi dengan akad ijarah.
Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna’, salam dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen obligasi ini yang paling banyak dipergunakan adalah obligasi dengan instrumen prinsip mudharabah dan ijarah :[6]
           a.      Obligasi Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang mengunakan akad mudharabah. Akad mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal /investor) dengan pengelola (mudharib/emiten). Ikatan atau akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta (shahibul maal) hanya menyediakan dana secara penuh (100%) dalam suatu kegiatan usaha dan tidak boleh secara aktif dalam pengelolaan usaha. Sedangkan pemilik usaha (mudharib/emiten) memberikan jasa, yaitu mengelola harta secara penuh dan mandiri.
Dalam Fatwa No. 33 / DSN-MUI / X / 2002 tentang obligasi syariah mudharabah, dinyatakan antara lain bahwa:[7]
a.   Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah merupakan bagi hasil, margin atau fee serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo
b.   Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudharabah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No. 7 / DSN-MUI / IV / 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
c.   Obligasi mudharabah emiten bertindak sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi mudharabah bertindak sebagai shahibul maal (pemodal)
d.      Jenis usaha emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah
e.       Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad
f.    Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengambilan dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan utang
g.   Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindahtangankan selama disepakati dalam akad
Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan struktur obligasi mudharabah, di antaranya :
a.   Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relatif panjang
b.  Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja ataupun capital expenditure
c.   Mudharabah merupakan percampuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai
d.   Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur murabahah dan ba’i bi’tsaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Meskipun telah berhasil diterbitkan, namun obligasi syariah Mudharabah menghadapi beberapa kendala. Kendala ini bervariasi sehingga diperlukan upaya pembenahan untuk dapat lebih efektif  sebagaimana yang bentuk aslinya. Kendala tersebut antara lain :[8]
1.   Syariah
a.  Revenue dan Profit sharing
Masalah syariah yang muncul bersama Obligasi Mudharabah adalah masalah distribusi pendapatan, apakah menganut profit sharing atau revenue sharing. Fatwa DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa Revenue Sharing lebih maslahat digunakan dalam pembagian pendapatan. Tidak banyak yang tahu bahwa pemilihan revenue sharing sebagai sistem yang lebih maslahat merujuk kepada dimensi waktu ketika fatwa itu ditetapkan. Pada saat itu apabila bagi untung diterapkan maka tingkat keuntungan yang diberikan bank syariah kepada nasabah akan lebih kecil dari tingkat suku bunga di pasar.
Penyebutan revenue sharing (bagi hasil) sendiri sebenarnya kurang tepat bila mengacu kepada mudharabah karena istilah yang digunakan dalam bahasa Arabnya adalah “ribh” yang berarti keuntungan. Dan mudharabah adalah akad usaha yang apabila mendapat keuntungan (ribh) -yang berarti pendapatan dikurangi biaya- dibagi menurut kesepakatan di muka antara sahibul mal dan mudharib.
b.   Profit Kuartal sebelumnya
Masalah kedua adalah ketika penerbitan obligasi mudharabah dilakukan, perusahaan memerlukan jangka waktu tertentu untuk menggunakan dana itu dalam usahanya agar mendapatkan keuntungan yang kemudian dibagikan kepada pemegang obligasi. Padahal tradisi yang berlaku dalam obligasi mengharuskan perusahaan membayar kupon (bunga) setiap tiga bulan.
2.      Finance
Masalah terbesar yang masih dihadapi oleh praktek keuangan Islam, termasuk di dalamnya perbankan, adalah belum ada ukuran (benchmark) untuk melakukan discounting, terutama ketika sebuah obligasi syariah akan dilepas ke pasar sekunder.
3.     Legal
Belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang Obligasi syariah dari otoritas yang berwenang. Sehingga ketentuan tentang obligasi syariah mengacu kepada ketentuan tentang obligasi konvensional.
4.     Akuntansi
Perlakuan akuntansi oleh para penerbit masih diperlakukan sebagai hutang. Tidak seperti dalam perbankan yang telah memiliki standar akuntansi tersendiri untuk perbankan syariah pasar modal syariah belum memiliki standar akuntansi tersendiri. Praktek akuntansi yang digunakan para pelaku pasar mengacu kepada standar akuntansi perusahaan. Akibatnya pencatatan obligasi mudharabah diakui sebagai hutang yang diterima perusahaan melalui penjualan surat berharga, sedangkan oleh pemegang obligasi sebagai piutang yang dimiliki karena membeli surat berharga.
Contoh
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi mudharabah senilai Rp. 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatatkan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil bedasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi unttuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.[9]
b.   Obligasi Ijarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah, telah ditegaskan beberapa hal mengenai obligasi syariah ijarah, sebagai berikut :[10]
1.   Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dan obligasi pada saat jatuh tempo
2.  Obligasi syariah ijarah adalah obligasi syariah bedasarkan akad ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2009 tentang pembiayaan ijarah
3.  Pemegang obligasi syariah ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai mu’jir (pemberi sewa)
4.  Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a.       Investor dapat bertindak sebagai penyewa (mustajir) sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor. Dan properyowner, dapat bertindak sebagai orang yang menyewakan (mujir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini; transaksi pertama terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan dirinya kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa dengan propertyowner dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor) dengan propertyowner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi sewa menyewa (ijarah)
b.      Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka diterbitkanlah surat berharga jangka panjang (obligasi syariah ijarah), dimana atas penerbitan obligasi tersebut, emiten waib membayar pendapatan kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Seperti juga dalam obligasi syariah mudharabah, obligasi syariah ijarah menghadapi tantangan dan kendala yang tidak sedikit. Berikut ini adalah diantaranya:
1.   Syariah
Ada beberapa isu syariah yang menjadi perdebatan dalam penerbitan obligasi syariah ijarah:
-          Wakil yang kemudian menjadi penyewa
Dalam salah satu modus obligasi syariah ijarah, emiten bertindak pertama kali selaku wakil dari pemegang obligasi syariah untuk menyewa/membeli asset dari pihak ketiga. Lalu setelah transaksi itu dilakukan, emiten bertindak selaku penyewa.
Sebenarnya pola ini adalah pola umum yang terjadi dalam perbankan syariah, terutama murabahah, dimana bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang yang akan dibelinya sendiri dari bank. Hal ini dilakukan mengingat adanya berbagai kendala di sisi perpajakan dan legal sistem.
-          Penyewa yang menyewakan
Di salah satu modus yang lain dari obligasi syariah ijarah, terdapat struktur dimana pihak penyewa menyewakannya kembali kepada pihak ketiga. Dalam literatur syariah kasus ini dikenal dengan Almustajir yu’jir. Sebagian besar ulama membolehkan praktek ini dengan syarat bahwa penyewa kedua hanya bertanggungjawab kepada penyewa pertama.
-          Tingkat sewa berubah menurut kesepakatan
Nilai sewa yang berubah-ubah setelah jangka waktu tertentu. Dikhawatirkan hal ini mengakibatkan emiten membayar harga yang lebih tinggi tanpa diduga sebelumnya. Kondisi seperti ini lazim dalam syariah disebut gharar (ketidaktahuan/ketidaktentuan) salah satu kondisi yang menyebabkan sebuah akad batal demi hukum, karena dikhawatirkan merugikan salah satu pihak.
Sebagian ulama modern membolehkan sewa ijarah berubah menurut jangka waktu tertentu, apabila disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa harus menghentikan akad dan memulainya dengan akad baru berdasarkan tingkat sewa baru.
2.   Finance Reference
Untuk menentukan tingkat fee ijarah (sewa) belum tersedia. Seringkali para praktisi obligasi syariah merujuk kepada tingkat keuntungan di pasar uang, yang tentunya berdasarkan suku bunga pinjaman untuk berbagai jangka waktu.
3.   Legal
Seperti halnya obligasi syariah mudharabah, sampai saat ini belum ada satupun ketentuan yang mengatur tentang obligasi syariah ijarah. Padahal seperti yang dikemukakan di muka, ada beberapa perbedaan fundamental antara obligasi yang berdasarkan syariah dengan obligasi biasa.
4.   Pajak
Kendala lainnya adalah pengenaan pajak kepada sewa guna karena ia merupakan obyek pajak. Akibatnya, penerbitan obligasi syariah selau dibayangi kekhawatiran akan pengenaan pajak atas fee ijarah (sewa).
5.   Akuntansi
Sebagaimana halnya dalam mudharabah, belum ada ketentuan akuntansi yang mengatur dan mengikat para emiten dan pemegang obligasi syariah tentang perlakukan obligasi syariah ijarah. Perlakuan akuntansi untuk obligasi syariah ijarah adalah surat berharga yang diterbitkan pada pembukuan emiten, sedangkan untuk pemegang obligasi, obligasi syariah ijarah adalah surat berharga yang dibeli.
Contoh
Penerapan akad ijarah untuk obligasi syariah dapat merujuk pada penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.[11]
Tabel 1. Ringkasan Obligasi

Obligasi Konvensional
Syariah Mudharabah
Syariah Ijarah
Akad (transaksi)
Tidak ada
Mudharabah/Bagi hasil
Ijarah / sewa
Jenis Transaksi
-
Uncertainty Contract
Certainty Contract
Sifat
Surat Hutang
Investasi
Investasi
Harga Penawaran
100%
100%
100%
Pokok Obligasi saar Jatuh Tempo
100%
100%
100%
Kupon
Bunga
Pendapatan/Bagi hasil
Imbalan / fee
Return
Float / Tetap
Indikatif berdasarkan Pendapatan/Income
Ditentukan seelumnya
Fatwa DSN
Tidak ada
NO. 33/DSN-MUI/IX/2002
No. 41/SN-MUI/III/2004
Jenis Investor
Konvensional
Syariah/Konvensional
Syariah/Konvensional

                c.       Obligasi Syariah Istishna’
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Berikut Ketentuan Umum obligasi syariah.[12]
a.       Pelaksanaan obligasi syariah mulai dari awal sampai akhir  harus terhindar dari format dan substansi akad yang berkaitan dengan riba (pembungaan uang) dan gharar
b.      Transaksi obligasi syariah harus berdasarkan konsep muamalah yang sejalan syariah seperti akad  kemitraan (musyarakah dan mudharabah), jual beli barang (murabahah, salam, dan istishna)
c.       Bagi hasil pada akad kemitraan, fee pada akad ijarah, dan harga (modal dan margin) pada akad jual beli harus ditentukan secara jelas pada awal transaksi (prospectus atau sertifikat)
d.      Usaha yang dilakukan emiten (originator) berhubungan dengan dana sukuk yang dikelola harus terhindar dari semua unsur-unsur non halal
e.       Pemberian pendapat dapat dilakuakan secara periodek (sesuai karakteristik masing-masing akad)
f.       Tidak semua sertifikat sukuk dapat diperjualkan  dan tidak semua pendapat dapat bersifat mengambang (floating) atau indikatif
g.      Pengawasan terhadap pelaksanaa dilaksanakan oleh Dewan Pengawas Syariah dari aspek syariah, dan oleh wali amanat atau SPV dari segi  operasional lapangan khususnya terhadap usaha emiten
h.      Apabila emiten melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, dilakukan pengembalian dana investor dan dibuat surat pengakuan utang,
i.        Jasa asuransi syariah dapat digunakan untuk sebagai alat  perlindungan resiko aset sukuk.
Ada beberapa akad penting lainnya yang dapat menjadi basis pengembangan obligasi syariah:[13]
1.      Musyarakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan
2.      Murabahah adalah akad jual beli barang dimana pembeli dapat membayar harga barang yang disepakati pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Penjual dapat menambah marjin pada harga pokok barang yang dijual tersebut
3.      Salam merupakan kontrak jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Karena akad tersebut banyak, namun sampai saat ini baru dua jenis obligasi syariah yang sedang berkembang di Indonesia, yaitu: obligasi mudharabah dan ijarah. Keduanya sesuai kaidah syariah namun berbeda dalam penghitungan, penilaian dan pemberian hasil (return).
D.    Struktur dan Kinerja Obligasi Syariah[14]
a.    Struktur Obligasi Syariah
Obligasi syari’ah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk stuktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut obligasi syariah dapat memberikan :
1.   Bagi hasil berdasarkan akad mudharabah / muqaradah / qiradh  atau musyarakah adalah kerjasama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative (indiaksi waktu) / expected return (tingkat pengembalian yang diharapkan) karena sifatnya yang floating (mengambang) dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
2.   Margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarah, dengan kadar murabahah/salam/istihna sebagai benmtuk jual beli dengan skema cost plus basis,  (penambahan biaya) obligasi jenis ini akan memberikan fixed return (pengembalian tetap).
b. Kinerja Obligasi Syariah
  Diawali dengan gebrakan Indosat pada akhir 2002 bahkan sebelum Pasar Modal Syariah resmi berdiri, yang menerbitkan obligasi syariah mudarabah senilai Rp. 175 miliar, instrumen ini menarik perhatian pelaku pasar modal. Obligasi syariah mudarabah indosat memberikan nisbah bagi hasil indikatif sebesar 15,5 % hingga 16 % pertahun. Nisbah bagi hasil ini berarti sama dengan rate yang diberikan oleh obligasi Indosat konvensional. Bedanya nisbah obligasi syariah bersifat indikatif (bisa berubah tapi cenderung stabil), sedangkan nisbah obligasi konvensional bersifat tetap. Penawaran obligasi syariah Indosat ini mengalami kelebihan permintaan (over sub scri bed) sampai 2x lebih. Jumlah nilai obligasi syariah Indosat dinyatakan sebanyak-banyaknya Rp. 100 miliar, sampai akhir book building jumlah yang masuk Rp. 200 miliar. Kenyataan ini cukup menggembirakan karena sebelumnya banyak pihak yang skeptis menyambut kemunculan Islamic Bond pertama di Indonesia.
Karena berhasilnya penerbitan obligasi dari Indosat, maka pada 2003 mulailah sejumlah perusahaan menerbitkan instrumen sejenis, yakni PT. Ciliandra Perkasa, PT. Pembangunan Perumahan, PT. Berlian Laju Tanker, dan PT. Sinar Baru Lampung. Tentu saja tak ketinggalan sejumlah lembaga keuangan syariah seperti Bank Muamalah, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin Syariah.
c.       Penerbit Obligasi
Penerbit obligasi ini sangat luas sekali, hampir setiap badan hukum dapat menerbitkan obligasi, namun peraturan yang mengatur mengenai tata cara penerbitan obligasi ini sangat ketat sekali. Penggolongan penerbit obligasi biasanya terdiri atas:[15]
E.     Menilai Tingkat Resiko Obligasi[16]
Dalam setiap investasi untuk mendapatkan keuntungan selalu muncul potensi adanya risiko kerugian yang akan timbul apabila target keuntungan investasi tersebut tidak sesuai dengan yang direncanakan dan yang diinginkan. Setiap tindakan investasi mempunyai tingkat risiko dan keuntungan yang berbeda-beda. Ada karakter investor yang menginginkan tingkat keuntungan yang cukup tinggi di atas rata-rata keuntungan normal sehingga harus siap mendapatkan potensi tingkat risiko yang tinggi juga. Begitu juga ada investor yang mengharapkan tingkat keuntungan yang relatif sedikit cenderung akan mendapatkan tingkat risiko yang relatif kecil juga.
Untuk melakukan investasi obligasi, akan timbul beberapa jenis risiko investasi yang berbeda hasilnya serta bisa berpengaruh dan berkaitan satu dengan yang lain. Setiap risiko hendaknya dipahami sebab akibatnya. Aspek penanganannya juga harus dikuasai penuh oleh investor obligasi. Dengan pemahaman yang luas tentang risiko investasi obligasi, tingkat keuntungan yang diharapkan bisa dicapai secara maksimal dan tingkat kerugian yang tidak diinginkan dapat dikurangi.
           1.      Interest Rate Risk
Salah satu faktor penentu apakah harga obligasi menarik atau tidak adalah tingkat suku bunga yang diberikan kepada investor obligasi.  Apabila tingkat suku bunga lebih tinggi dari kupon/bagi hasil obligasi maka investor cenderung menyimpan dananya pada produk deposito ketimbang membeli obligasi, tentunya harga obligasi cenderung turun begitu pula sebaliknya. Seorang bond trader harus mampu melakukan antisipasi trend kenaikan tingkat suku bunga untuk menghindari kerugian yang bisa terjadi pada saat jual/beli obligasi tersebut.
            2.      Liquidity Risk
Untuk mengantisipasi kenaikan nilai suatu obligasi, harus dipastikan bahwa investor yang akan membeli atau menjual obligasi memilih obligasi yang sangat liquid. Artinya obligasi tersebut cukup banyak beredar. Obligasi yang sangat liquid akan sangat menguntungkan.
             3.      Foreign Exchange Rate Risk
Perdagangan pasar uang sangat global dan luas sekali jangkauannya sehingga tingat jangkauan perdagangan produk keuangan di luar negeri sangat mempengaruhi likuiditas produk fixed income di dalam negeri. Pergerakan kurs valas sangat menentukan harga dan perdagangan di pasar obligasi juga. Dengan tidak stabilnya fluktuasi kurs valas maka otomatis perdagangan obligasi juga ikut terpengaruh, bisa naik bisa turun.
              4.      Default Risk
Risiko yang terjadi akibat kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran bunga/ bagi hasil/ bonus atau prinsipal pada saat jatuh tempo.
              5.      Inflation Risk
Risiko akibat fluktuasi tingkat inflasi.

-          Perubahan Nilai Obligasi
Nilai obligasi adalah nilai sekarang dari tingkat suku bunga yang akan diterima kemudian serta nilai pari atau nilai jatuh tempo obligasi. Dengan menyusun arus kas ini, dan menggunakan tingkat pengembalian yang diinginkan investor sebagai tingkat diskonto, kita dapat menentukan nilai obligasi.[17]
Terdapat tiga elemen penting
               Ø  Jumlah dan waktu dari arus kas yang akan diterima investor
               Ø  Tanggal jatuh tempo obligasi
               Ø  Tingkat pengembalian yang diinginkan investor


-          Penilaian Obligasi

Ø  Nilai obligasi berbanding terbalik dengan perubahan tingkat pengembalian yang diinginkan investor (tingkat suku bunga saat ini). Dengan kata lain ketika tingkat suku bunga meningkat (menurun), nilai obligasi menurun (meningkat)
Ø  Nilai pasar dari sebuah obligasi akan lebih kecil dari nilai parinya jika tingkat pengembalian yang diinginkan investor lebih besar dari suku bunga obligasi; namun obligasi akan dinilai lebih tinggi dari nilai pari jika tingkat pengembalian yang diinginkan investor lebih kecil dari tingkat suku bunga obligasi
Ø  Semakin dekat tanggal jatuh tempo obligasi, maka nilai pasar dari obligasi tersebut akan semakin mendekati nilai parinya
Ø  Obligasi jangka panjang memiliki resiko tingkat suku bunga yang lebih besar dibandingkan dengan obligasi jangka pendek
Ø  Sensitivitas nilai obligasi terhadap perubahan tingkat suku bunga tidak hanya tergantung pada lamanya waktu jatuh tempo, tetapi juga pada pola arus kas yang dihasilkan oleh obligasi tersebut.
-          Jangka Waktu, Nilai &Rate of Return (Tingkat Pengembalian)[1]
Ø  Ukuran tingkat reaksi harga obligasi terhadap perubahan tingkat bunga. Juga, pertimbangan waktu rata-rata jatuh tempo dengan bobot tertimbang tiap-tiap tahun adalah nilai sekarang arus kas untuk tahun itu.
Ø  Dalam menaksir sensitivitas suatu obligasi terhadap perubahan tingkat suku bunga, durasi obligasi merupakan alat ukur yang lebih tepat, bukan jangka waktu jatuh temponya.






[1]Syafi’I Antonio, Bank Syari’ahdariTeorikePraktek (Jakarta: GemaInsani, 2001), 167
[2]Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2007), 85-86
[3] M. IrsanNasrudindanIndra Surya, AspekHukumPasar Modal Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 206
[4] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah, 82
[5] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010), 245-246

[6] Muhammad Firdaus, dkk, Konsep Dasar Obligasi Syari’ah (Jakarta: Renaisan, 2005),  29
[7] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam:Tinjauan Teoritis dan Praktis, 242
[8] Cecep Maskanul Hakim, “Obligasi Syari’ah di Indonesia: Kendala dan Prospek”, dalam http://ekonomi-keuangan-syariah.blogspot.com/2009/02/obligasi-syariah-di-indonesia-kendala.html (20 Maret 2010)
[10] http://www.scribd.com/doc/8584138/Kumpulan-Fatwa-DSNMUI-20002007.Tanggalakses 07 April 2013 jam 14.10 WIB
[12] Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelengaraan Investasi di Pasar  Modal Syariah Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 135
[14]Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syari’ah, 100-104
[15] Heri Sudarsono,Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Edisi 2 (Yogyakarta : Ekonisia, 2007), 223-224
[16]  M. Nadjib, dkk, Investasi Syari’ah (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008),  353-354
[17]Obligasisyariah@hendrakholik.net. Tanggalakses 07 April 2013 jam 14.10 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar