A.
Pengertian Al-Wadi’ah
Secara etimologi, wadi’ah berarti
menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk
dipelihara. Secara terminologi,
wadi’ah adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu.
Dapat
disimpulkan bahwa Al-Wadi’ah
adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip
menghendakinya.[1]
B.
Dasar Hukum Al-Wadi’ah
1.
Al-Quran
*
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr& ....
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat (titipan),
kepada yang berhak menerimanya....” (An-Nisaa’
:58)
÷bÎ*sù.... z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u 3 ...
“....jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya...”
(Al-Baqarah: 283)
2.
Al-Hadist
اَدَّالاَمَا
نَةَ اِلَي مَنْ اِئْتَمَنَكَ وَلَاتَخَنُ مَنْ خَا نَك
Artinya :
“Sampaikanlah (tunaikanlah)
amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang
telah mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud)
3.
Ijma
Para tokoh
ulama Islam jalan telah melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi al-wadiah
karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip
oleh Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni
wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.[2]
C.
Rukun dan Syarat Al-Wadi’ah
Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya
titipkan sepeda ini pada engkau”), dan qabul
(ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi, seperti, “saya terima
titipan sepeda anda ini”).[3]
Akan tetapi,
jumhur ulama fiqh mengatakan bahwa rukun al-wadi’ah ada tiga, yaitu: (a)
orang yang berakad, (b) barang titipan, dan (c) sighat ijab dan qabul.
Sedangkan
dalam syarat, ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua
belah pihak yang melakukan akad adalah harus orang yang berakal. Mereka tidak
mensyaratkan baligh dalam persoalan al-wadi’ah. Akan tetapi, anak kecil
yang belum berakal atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukumnya,
(seperti orang gila) tidak sah dalam melakukan akad al-wadi’ah.
Sedangkan
menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah
disyaratkan telah baligh, berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah
merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan. Oleh sebab itu, anak
kecil sekalipun telah berakal tidak dibenarkan melakukan transaksi al-wadi’ah,
baik sebagai orang yang menitipkan barang maupun sebagai orang yang menerima
titipan barang.[4]
Syarat kedua akad al-wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu
jelas dan boleh dikuasai (al-qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan
itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk
dipelihara. Apabila seseorang menitipkan ikan yang ada di laut atau di sungai,
sekalipun ditentukan jenis, jumlah dan identitasnya, hukumnya tidak sah, karena
ikan tersebut tidak dapat dikuasai oleh orang yang dititipi. Menurut para ulama fiqh, syarat kejelasan
dan dapat dikuasai ini dianggap penting karena terkait erat dengan masalah
kerusakan barang titipan yang mungkin akan timbul atau barang
itu hilang selama dititipkan. Jika barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai
orang yang dititipi, apabila hilang atau rusak, maka orang yang dititipi tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban.[5]
D.
Macam-macam
Al-Wadi’ah
Al-Wadi’ah terbagi menjadi dua, yaitu :[6]
1. Al-Wadi’ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karekteristik sebagai
berikut:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak
boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai
penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang
dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai konpensasi, penerima titipan
diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau harta yang tidak
boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan
untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau save
deposit box.
2. Al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository)[7]
Wadi’ah jenis ini memiliki karekteristik
sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan
dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang
dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak
ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada
si penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad
ini yaitu giro dan tabungan.
d. Bank konvensional memberikan jasa giro
sebagai imbalan yang dihitung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan.
Adapun pada bank syariah, pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh
disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar
pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
e. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan
kewenangan manajemen bank syariah karena pada prinsipnya dalam akad ini
penekanannya adalah titipan.
f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad
wadi’ah karena pada prinsipnya
tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat.
Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang
dipersamakan.
E.
Sifat Akad Al-Wadi’ah
Dilihat dari
segi sifat akad al-wadi’ah, para
ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad al-wadi’ah
bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad. Apabila seseorang
dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat al-wadi’ah, maka pihak yang dititipi
bertanggungjawab untuk memelihara barang titipan tersebut. Namun demikian,
apakah tanggungjawab memelihara barang itu bersifat amanah atau bersifat ganti
rugi (adh-dhaman). Dalam kaitan
dengan ini, para ulama fiqh sepakat menyataan bahwa status al-wadi’ah ditangan orang
yang dititipi bersifat amanah, bukan adh-dhaman,
sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi
tanggungjawab orang yang dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan dengan
sengaja atau atas kelalaian orang yang dititipi.
Alasan
mereka adalah dari sabda Rasulullah Saw, yang artinya: “Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan
tidak dikenakan ganti rugi”. (HR. al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Berdasarkan
hadist-hadist ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad al-wadi’ah disyaratkan bahwa orang yang
dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan,
sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka
akadnya batal. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad al-wadi’ah adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh
meminta upah dari barang titipan itu.[8]
F.
Perubahan Akad Al-Wadi’ah dari Amanah Menjadi Adh-Dhaman
Berkaitan
dengan sifat akad al-wadi’ah sebagai akad yang bersifat amanah, yang
imbalannya hanya mengaharap ridho dari Allah Swt, para ulama fiqh juga membahas
kemungkinan perubahan sifat akad al-wadi’ah
dari sifat amanah menjadi sifat adh-dhaman
(ganti rugi). Para ulama fiqh mengemukakan beberapa kemungkinan tentang hal ini,
antara lain :
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Apabila seseorang
merusak barang itu dan orang yang dititipi tidak berusaha mencegahnya, padahal
ia mampu, maka ia dianggap melakukan kesalahan, karena memelihara barang itu
merupakan kewajiban baginya. Atas kesalahan ini ia dikenakan ganti rugi (adh-dhaman).[9]
2.
Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak
ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggungjawabnya.
Apabila barang itu hilang atau rusak, dalam kasus seperti ini orang yang
dititipi dikenakan ganti rugi.[10]
3.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. Dalam kaitan
ini para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila orang yang dititipi barang
itu menggunakan barang titipan dan setelah ia gunakan barang itu kemudian
rusak, maka orang yang dititipi wajib membayar ganti rugi.
4.
Orang yang dititipi al-wadi’ah mengingkari
al-wadi’ah itu. Apabila pemilik
barang meminta kembali barang titipannya pada orang yang ia titipi, lalu orang
yang disebut terakhir itu mengingkarinya atau ia sembunyikan, sedangkan ia
mampu untuk mengembalikannya, maka ia dikenakan ganti rugi.
G.
Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Bagi bank
konvensional, selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk
“menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang
mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan: transaksi,
cadangan, dan investasi.[11]
Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi
tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.
Salah satu
prinsip yang digunakan dalam bank syariah dalam memobilisasi dana adalah dengan
menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip itu ialah al-wadi’ah. Al-wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil
jika pemiliknya menghendaki. Dalam perbankan syariah, secara umum al-wadi’ah terdapat dua jenis. Yaitu, Al-Wadi’ah Yad al-Amanah dan Al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah.[12]
Skema Al-Wadi’ah Yad al-Amanah
1. Titip Barang
2. Bebankan Biaya Penitipan
Keterangan :
Dengan konsep al-Wadi’ah Yad
al-Amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan
biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
Skema Al-Wadi’ah
Yad adh-Dhamanah
1. Titip Dana
4. Beri Bonus
2. Pemanfaatan
Dana
3. Bagi Hasil
Keterangan
:
Dengan
konsep al-Wadi’ah Yad adh-Dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan
dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal
ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada
penitip dalam bentuk bonus.
Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana
titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh
kemungkinan kerugian). Sebagai imbalannya, si penyimpan mendapat jaminan
keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas lainnya.
Sungguhpun demikian, bank sebagai penerima titipan,
sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang
untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan
sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase, tetapi
betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw, yang
diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah Saw pernah meminta seseorang untuk
meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur sekitar dua tahun).
Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah Saw memerintahkan Abu Rafie untuk
mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada
Rasulullah Saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami
temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun.”
Rasulullah Saw berkata, “Berikanlah itu,
karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR.
Muslim)[13]
Dari semangat hadist diatas, jelaslah bahwa bonus sama
sekali berbeda dari bunga, baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam
praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar
dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan
kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy (kebijakan perbankan) dalam upaya merangsang
semangat masyarakat dalam menabung. Hal ini karena semakin besar nilai
keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien
pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan
menguntungkan.
Adapun perbedaan antara jasa giro dan bonus atau athaya, sebagaimana tabel dibawah ini.
Perbedaan Antara Jasa
Giro dan Bonus
NO
|
JASA GIRO
|
BONUS (ATHAYA)
|
1.
|
Diperjanjikan
|
Tidak diperjanjikan
|
2.
|
Disebutkan dalam akad
|
Benar-benar merupakan budi baik bank
|
3.
|
Ditentukan dalam persentase yang tetap
|
Ditentukan sesuai dengan keuntungan riil bank
|
[1] Sayyid Sabiq, “Fiqhus Sunnah”, (Beirut: Darut-Kitab al-Arabi),
1987, hal:3.
[2] Jihad Abdullah Husain Abu
Uwaimir, “at-Tarsyid Asysyari lil-Bunuk al-Qaimah”, (Kairo: al-Ittihad
ad-Dauli lil-Bunuk al-Islamiah), 1986.
[5] Ibnu abidin, “Radd
al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar”, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid V, 1978,
hlm:516
[6] Muhammad Syafi’i Antonio,
“Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik”,
(Jakarta: Gema Insani), 2001, hal: 148-150.
[7] Bank Islam Malaysia
Berhad, “Islamic Banking Practice From
The Practitioner’s Perspective”, (Kuala Lumpur: BIMB), 1994.
[11] John M. Keynes, “The General Theory of Employment, Interest
and Money”, (New York: Harcourt Brace) 1936.