1. Pengertian Musaqoh
Dalam pengertian musaqoh ada beberapa pendapat dan
pengertian. Musaqoh dalam bahasa merupakan wazn mufa’ala dari kata as-saqyu
yang sinonimnya asy-syurbu, artinya memberi minum. Penduduk Madinah menamai
musaqoh dengan mu’amalah, yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amila yang
artinya bekerja (bekerja sama).[1]
Secara etimologi, kalimat musaqah itu
berasal dari kata al-saqa yang Artinya seseorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan
kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.[2]
Secara terminologis al-musaqah
didefinisikan oleh para ulama :
a.
Menurut Malikiyah
Al-musaqah ialah :“sesuatu yang tumbuh”.
Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima
macam[3] :
1)
Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan
pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan
waktu yang lama, sepertipohon anggur dan zaitun;
2)
Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak
berubah, seperti pohon kayukeras, karet dan jati;
3)
Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi
berbuah dan dapat di petik, sepertipadi dan qatsha’ah;[4]
4)
Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada
buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki
kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar;
5)
Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya
sebagai suatu manfaat, bukan buahnya,
seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lain.
b. Menurut Syafi’iyah
ان يعا مل شخص يملك تخلا او عنبا سخصا اخر على ان
يباشر ثانيهما النحل اوالعنب بالسقى والتربية والحنظ ونحو ذلك وله فى نظير عمله
جزاء معين من المر الذى يحرجج منه
Al-musaqah ialah :“Memberikan pekerjaan orang
yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan
keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh
bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.[5]
c.
Menurut Hanabilah
Bahwa al-musaqah itu mencakup dua masalah :
1)
Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami,
seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan
sebagian tertentu daribuah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
2)
Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon
tersebut belum ditanamkan,maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada
tanahnya, yang menanamakan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang
ditanamnya, yang keduaini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik
menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya; [6]
d.
Menurut Syaikh
Shihab al-Din al-Qolyubi dan Syaikh
Umairah,
Al-musaqah ialah : “Memperkerjakan manusia
untuk mengurus pohon dengan
menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon untuk mereka berdua”.[7]
e.
Menurut Hasbi
ash-Shiddiqie
Al-musaqah: “Syarikat pertanian untuk
memperoleh hasil dari pepohonan”[8]
Setelah diketahui semua definisi dari ahli
fiqih, maka secara esensial al-musaqahitu adalah sebuah bentuk kerja sama
pemilik kebun dengan penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan
dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di
bagi menjadi dua sesuai dengan aqad yang telah disepakati.
2.
Dasar Hukum Al-Musaqah
I. Hadits
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama Fiqh, Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail: bahwa akad Al-musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena Al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagaian hasil yang akan dipanen dari kebun.
Dalam hal ini
ditegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artinya: “Siapa yang memiliki sebidang
tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan
imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan dipanen) dan jangan
pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. (H.R. al-Bukhori dan Muslim).
Jumhur ulama
fiqh mengatakan: bahwa akad Al-musaqah itu dibolehkan. Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah
adalah:
a. Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada
penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan
diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil
pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b. Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan
tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari
harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)[9]
c.
“Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama
perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan
sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. (H.R. Muttafaqun ‘alaih)
II. Ijma’
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain
bin Ali bin Abu thalib r.a bahwa Rasulullah saw. Telah menjadikan penduduk
Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas bagi hasil. Hal ini dilanjutkan
oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan
rasio
. Semua telah dilakukan
oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak telah
mengetahuinya, tetapi tak ada seorangpun yang menyanggahnya. Berarti, ini
adalah suatu ijma’ sukuti (consensus) dari umat.”
3.
Hal- hal yang Berkaitan
dengan Musaqoh
I.
Rukun-rukun Musaqah.
·
Rukun-rukun musaqah menurut jumhur ulama ada
lima :
1)
Sighat, (ungkapan) ijab dan qabul;
2)
Al-aqidain, dua orang
pihak yang melakukan transaksi;
3)
Obyek al-musaqah, yang terdiri atas pepohonan yang
berbuah baik berbuahnya dalam bentuk tahunan atau juga setahun sekali, seperti
padi,jagung, dll
4)
Ketentuan mengenai pembagian hasil dari musaqah
tersebut;
5)
Masa kerja, hendaknya ditentukan lama waktu
yang akan dipekerjakan.
Sedangkan
menurut ulama Hanafiyah yang menjadi
rukun dalam musaqah itu hanyalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul
dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
II. Syarat-syarat
musaqah
1) Ahli dalam akad
2) Menjelaskan bagian penggarap
3) Membebaskan pemilik dari pohon, dengan artian
bagian yang akan dimiliki dari hasil panen merupakan hasil bersama.
4) Hasil dari pohon dibagi antara dua
orang yang melangsungkan akad
5) Sampai batas akhir, yakni menyeluruh
sampai akhir.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing rukun menirut ulama Syafiiyah berpendapat
bahwa yang boleh dijadikan obyek itu adalah kurma dan anggur saja. Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi,
tanpa campur tangan pemiliknya. Lamanya
perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi
ijarah ( sewa menyewa ).
III. Hukum Musaqah
1)
Hukum musaqah sahih
·
Menurut ulama Hanafiyah
hukum musaqah sahih adalah:
a)
Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada
penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,
b)
Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,
c)
Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,
d)
Akad adalah lazim dari kedua belah pihak,
e)
Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,
f)
Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
g)
Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di
izinkan oleh pemilik.
·
Menurut ulama Malikiyah:
a)
Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buahtidak wajib dikerjakandan tidak boleh
disyaratkan,
b)
Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi
oleh penggarap.
c)
Sesuatu yang berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
·
Menurut ulama Syafi’iyah
dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa
segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan
pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.
2)
Hukum musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad
yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.
·
Menurut ulama Hanafiyah,
musaqah fasid meliputi:
a)
Mensyaratkan hasil musaqah
bagi salah seorang dari yang akad,
b) Mensyaratkan
salah satu bagian tertentu bagi yang akad,
c) Mensyaratkan
pemilik untuk ikut dalam penggarapan,
d) Mensyaratkan
pemetikan dan kelebihan pada penggarap,
e) Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah
pembagian,
f) Mensyaratkan
kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad,
g) Bersepakat
sampai batas waktu menurut kebiasaan,
h) Musaqah digarap
oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.
IV.
Habis waktu Musaqah
·
Menurut ulama Hanafiyah,
musaqah dianggap selesai apabila:
1) Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak yang akad
2)
Meninggalnya salah seorang yang akad
3)
Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.
Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat musaqah selesai jika habis waktu.
V.
Perbedaan Al-Musaqah
Dengan Al-Muzara’ah
Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa ada perbedaan antara al-musaqah
dengan al-muzara’ah.
Perbedaan yang dimaksud antara lain adalah:
1)
Jika salah satu pihak dalam akad al-musaqah
tidak mau melaksanakan hal-halyang telah disetujui dalam akad, maka yang
bersangkutan boleh dipaksa untukmelaksanakan kesepakatan itu. Berbeda dengan
akad al-muzara’ah, bahwa jikapemilik benih tidak mau kerjasama dalam
menuaikan benih maka ia tidakboleh dipaksa
2)
Menurut jumhur ulama, akad al-musaqah itu
bersifat mengikat kedua belah pihak. Beda dengan al-muzara’ah yang sifatnya
baru mengikat jika benih sudah disemaikan, apabila benih belum disemaikan, maka
pemilik bolehsaja untuk membatalkan perjanjian itu.
Berbeda dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan bahwa akad al-musaqah
dan al-muzara’ah itu merupakan akad yang tidak mengikat kedua belah
pihak, oleh karena itu boleh saja salah satu pihak yang melakukan akad
membatalkan.
3)
Menurut Hanafiyah
penentuan waktu dalam al-musaqah itu bukanlah salah satu syarat,
penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan adatkebiasaan
setempat. Sedangkan dalam akad al-muzaraah itu dalam penentuanwaktu, ada dua
pendapat. Menurut Hanafi ; pertama
disyaratkannya tenggangwaktu, dan kedua tidak disyaratkan;
4)
Apabila tenggang waktu yang disetujui dalam
akad al-musaqah berakhir, akad dapat terus dilanjutkan tanpa ada imbalan
terhadap petani penggarap.Sedangkan dalam akad al-muzara’ah bila tenggang waktu
telah habis dantanaman belum juga berbuah (dipanen), maka petani penggarap
melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah dari hasil bumi
yangakan dipetik.
VI.
Berakhirnya Akad
Al-Musaqah
Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad
al-musaqah itu apabila :
1)
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah
habis;
2)
Salah satu pihak meninggal dunia;
3)
Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak
boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur
disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu
dapat diwarisi atau tidak. Dalam perbedaan ini
ada beberapa pendapat ulama’ diantaranya :
1)
Ulama Malikiyah
: bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salahsatunya meninggal
dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihakpetani.
2)
Ulama Syafi’iyah
: bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan meskipun adaudzur, dan
apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petanipenggarap itu
menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
3)
Ulama Hanabilah
: bahwa akad al-musaqah sama dengan akadal-muzara’ah, yaitu akad yangtidak
mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak
bolehmembatalkan akad itu.
Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon
berbuah, dan buahitu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang telah ada.
4. Aplikasi dalam Keuangan Syariah
Aplikasi
dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang
dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
MUZAROAH dan MUKHABARAH
1. Pengertian Muzaroah
Menurut etimologi, muzara`ah adalah
wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah
memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal.[10]
Definisi muzaro’ah diantaranya adalah :
Menurut etimologi, muzara`ah adalah
wazan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah
memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal.
Ada beberapa pendapat pengertian
muzaroah, antaranya:
a.
Menurut buku bank syariah dari teori ke praktik
pengarang M. Syafi’i Antonio; al-muzaroah adalah kerja sama pengelolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan
imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[11]
b.
Muzara’ah adalah kerjasama dalam bidang pertanian atau
pengelolaan kebun dan sejenisnya. Pemilik lahan menyerahkan lahanya kepada
petani agar diusahakan, dan hasil dari pertanian itu dibagi antara kedua belah
pihak. Muzara’ah berasal dari kata az-zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu;
menabur benih atau bibit dan menumbuhkan.
c. Sedangkan Muzara’ah menurut ulama
fiqih salaf dimuka, adalah perjanjian kerjasama antara pemilik lahan pertanian
dengan petani penggarap, yang upahnya diambil dari hasil pertanian yang sedang
diusahakan. Kebanyakan fuqaha menyatakan bahwa perjanjian muzara’ah
hukumnya tidak boleh, sebab petani penggarap belum jelas akan mendapatkan hasil
dari pekerjaannya itu.
Dari
arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa muzara’ah adalah bentuk kerjasama
dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal
ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan
lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau
upah dari penggarapan tersebut.
1.a Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Pendapat para ulama’ tentang
muzaroah dan mukhobarah
a.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
Muzaraah merupakan asal dari ijarah (mengupah atau menyewa orang), dikarenakan
dalam keduanya masing-masing pihak sama-sama merasakan hasil yang diperoleh dan
menanggung kerugian yang terjadi.
b.
Imam Ibnul Qayyim berkata: Muzaraah ini
lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah. Karena dalam ijarah,
salah satu pihak sudah pasti mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam muzaraah,
apabila tanaman tersebut membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung,
apabila tidak menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.
Muzaroah seringkali diidentikkan
dangan mukhobaroh. Di mana keduanya terdapat sidikit perbedaan, antaranya:
a.
Muzaroah :
benih dari pemilik lahan
b.
Mukhabaroh :
benih dari pengga
1.b Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
1.b Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
I.
Hadits
Adapun dalil dasar yang membahas tentang
hukum muzaroah dan mukhobaroh.
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya:
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian.(HR.Bukhari)
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رومسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah
Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan
dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena
memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan
mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang
dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena
pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini
dikuatkan orang banyak.
II.
Ijma’
Pandangan Ulama Terhadap Hukum Muzara’ah
Dan Mukhabarah
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidakbolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas
Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan
dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena
memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan
mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang
dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena
pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini
dikuatkan orang banyak.
1.c Hal-hal yang berkaitan dengan
Muzaroah dan Mukhobaroh
I.
Yang tidak diperbolehkan dalam Muzaraah
dan Mukhabarah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang
tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang
petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian
wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia
bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah
menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik
tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais)
bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab
Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang
dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan
perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak
membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.”
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya
kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab
Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya
menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang
(gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah
dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak
ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang
demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat
dijamin, maka tidak dilarang.”
II.
Syarat
Muzara’ah dan mukhabarah
Disyaratkan dalam muzara’ah dan mukhabarah ini ditentukan
kadar bagian pekerja atau bagian pemilik tanah dan hendaknya bagian tersebut
adalah hasil yang diperoleh dari tanah tersebutseperti sepertiga,
seperempat atau lebih dari hasilnya.
III.
Hukum muzara’ah dan mukhabarah
1)
Hukum muzara’ah
dan mukhabarah sahih
Menurut ulama
Hanafiyah, hukum muzara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
a)
Segala
keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
b)
Pembiayaan atas
tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
c)
Hasil yang
diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
d)
Menyiram atau
menjaga tanaman.
e)
Dibolehkan
menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
f)
Jika salah
seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak
mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
2)
Hukum Muzara’ah fasid
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzara’ah fasid adalah:
a) Penggarap tidak
berkewajiban mengelola.
b) Hasil yang
keluar merupakan pemilik benih.
c) Jika dari
pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya
IV.
Habis Waktu Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
1) Habis
mujara’ah.
2) Salah seorang
yang akad meninggal.
3) Adanya uzur.
V.
Zakat muzaroah dan
mukhobaroh
Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini
diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib
atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang
punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan
tidak wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan
atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya
mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari
upah
tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas
keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
[1] Muslich. Ahmad
wari. Fiqih Mu’amalah (Jakarta: amzah,2010), hal.391
[2] Hendi suhendi.
Fiqih muamalah (Jakarta:RajaGrafindo Persada), hal 145
[3]
Hendi. Fiqih. Hal:146
[4] Dalam kamus kalimat qatsha’ah itu adalah
pohonnya semacam pohon labu dan buahnya,seperti ketimun.
[9] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid terjemahan, (Jakarta,
Pustaka Azzam,2007)hal: 483
[11]
M. syafi’I Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik.(Jakarta:Gema
Insani, 2001), hal.99
[12]
Antonio. Syariah. Hal, 100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar