A. Pengertian Ijarah
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru
yang berarti "imbalan terhadap suatu pekerjaan" (الجزاء على العمل) dan
"pahala" (الثواب) Dalam bentuk lain, kata ijarah
juga biasa dikatakan sebagai nama bagi al-ujrah[1]
yang berarti upah atau sewa (الكراء). Dalam perkembangan kebahasaan
berikutnya, kata ijarah itu dipahami sebagai "akad" (العقد),
yaitu akad (pemilikan) terhadap berbagai manfaat dengan imbalan (العقد على المنافع بعوض) atau akad pemilikan manfaat dengan imbalan.[2]
Sedangkan menurut istilah
ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara
perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir)
tanpa di ikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.[3] Jadi
dapat disimpulkan ijarah adalah akad antara bank (mu’ajjir) dengan
nasabah (mutta’jir) untuk menyewa suatu barang/objek sewa milik bank dan
bank mendapat imbalan jasa atas barang yang disewanya, dan diakhiri dengan
pembelian obyek sewa oleh nasabah.
B.
Dasar
Hukum Ijarah
- Al- Qur’an
Allah
berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَن
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم
مَّآءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرُُ {233}
“Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
b.
Al-Hadits
أعطواالأجيرأجره قبل ان يجف عرقه
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu
pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan
Tirmidzi)
C. Rukun Ijarah
1.
Mu’jar(orang/barang yang disewa).
2.
Musta’jir (orang yang menyewa).
3.
Sighat (ijab dan qabul).
D. Syarat Ijarah
1. Kedua orang yang berakad
harus baligh dan berakal.
2. Menyatakan kerelaannya
untuk melakukan akad ijarah.
3. Manfaat yang menjadi objek
ijarah harus diketahui secara sempurna.
4. Objek ijarah boleh
diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
Bercacat.
5. Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang
bisa
Disewakan.
6.Yang disewakan itu bukan
suatu kewajiban bagi penyewa.
7. Upah/sewa dalam akad harus
jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
E.
Macam-Macam Ijarah
Pembagian ijaraħ biasanya dilakukan dengan
memperhatikan objek ijarah tersebut. Ditinjau dari segi objeknya, akad ijarah
menurut ulama fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Ijarah ‘ala al-manafi’ (Sewa-menyewa)
Sewa menyewa adalah praktik ijarah
yang berkutat pada pemindahan manfaat terhadap barang. Barang yang boleh
disewakan adalah barang-barang mubah seperti sawah untuk ditanami, mobil untuk
dikendarai, rumah untuk ditempati. Barang yang berada ditangan penyewa
dibolehkan untuk dimanfaatkan sesuai kemauannya sendiri, bahkan boleh disewakan
lagi kepada orang lain.[5]
Apabila terjadi kerusakan pada benda
yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan
syarat kecelakaan tersebut bukan akibat dari kelalaian penyewa (musta’jir).
Apabila kerusakaan benda yang disewakan itu, akibat dari kelalaian penyewa (musta’jir)
maka yang bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut adalah penyewa itu
sendiri. [6]
2. Upah mengupah
Upah mengupah disebut juga dengan jual
beli jasa. Misalnya ongkos kendaraan umum, upah proyek pembangunan, dan
lain-lain. Pada dasanya pembayaran upah harus diberikan seketika juga,
sebagaimana jual beli yang pembayarannya waktu itu juga. Tetapi sewaktu
perjanjian boleh diadakan dengan mendahulukan upah atau mengakhirkan. Jadi
pembayarannya sesuai dengan perjanjiannya. Tetapi kalau ada perjanjian, harus
segera diberikan manakala pekerjaan sudah selesai.
F. Fitur dan Mekanisme
a)
Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh
pembayaran sewa biaya lainnya dari penyewa (musta’jir) dan mengakhiri
akad ijarah serta menarik objek ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar
sewa sebagaimana diperjanjikan.
b)
Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
1.
Menyediakan objek ijarah yang disewakan.
2.
Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah.
3.
Menjamin objek ijarah yang
disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi
dengan baik.
c)
Hak penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
1.
Menerima objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan.
2. Menggunakan objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang diperjanjikan.
d)
Kewajiban penyewa antara
lain meliputi:
1.
Membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan.
2.
Mengembalikan objek ijarah apabila tidak mampu membayar sewa.
3.
Menjaga dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan.
4.
Tidak menyewakan kembali atau tidak memindahtangankan objek ijarah kepada
pihak lain.
G.Objek Ijarah
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan, antara lain: [7]
1.
Objek ijarah merupakan
milik dan dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir).
- Manfaat objek ijarah harus dapat dinilai.
- Manfaat objek ijarah harus dapat diserahkan penyewa (musta’jir).
- Pemanfaatan objek ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan).
- Manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas.
- Spesifikasi objek ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
H. Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat
mengikat kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad
ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat
uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak
wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang
berakad meninggal dunia, akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh
diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat,
kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang
yang berakad meninggal dunia, manfaat dari akad ijarah boleh diwariskan karena
termasuk harta dan kematian salah seorang pihak yang berakad tidak membatalkan
akad ijarah.
I. Berakhirnya Akad Ijarah
1. Objek hilang atau
musnah.
2. Tenggang waktu
yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
3. Menurut ulama
Hanafiyah, wafatnya seorang yang berakad.
4. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur
dari salah satu pihak seperti rumah yang disewakan disita Negara karena terkait
utang yang banyak, maka akad ijarah batal. Akan tetapi, menurut jumhur ulama
uzur yang boleh membatalkan akad ijarah hanyalah apabila obyeknya cacat atau
manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda
banjir.
J. Keuntungan dan Kerugian Adanya Sewa Menyewa
Keuntungan adanya sewa menyewa :
1.
Adanya sewa-menyewa bisa membantu orang
mengambil manfaat dari yang disewakan tersebut.
2.
Membantu orang yang tidak mampu membeli barang,
jadi dengan adanya sewa ini orang tersebut bisa menyewa barang itu.
3.
Penyewa tidak dibebani biaya-biaya yang
diperlukan kepada pemiliknya untuk menyerahkan barang jika barang tersebut
rusak.
Kerugian adanya sewa menyewa :
1. Bila barang rusak maka yang menanggung
resiko adalah pemilik barang.
2. Resiko yang ditanggung tak sebanding dengan
harga sewa.
K. Aplikasi Ijarah di Lembaga
Keuangan Syariah
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing.
Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan Ijarah
Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain
itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat
leasing maupun sesudahnya[8].
Contoh
praktek ijarah muntahiya bittamlik dengan hibah
pada perbankan adalah sebagai berikut: Bapak Urfan berniat memiliki mobil untuk
kepentingan pribadi seharga Rp 120.000.000 padahal saat itu ia hanya memiliki
dana Rp 30.000.000. untuk mengatasi permasalahannya, Bapak Urfan pergi ke bank
syari’ah untuk mencari solusi. Bagaimana skim yang akan diterima oleh Bapak
Urfan?(asumsi: ekspektasi keuntungan bank adalah 12%/tahun).
Untuk masalah diatas, bank dapat menawarkan
skim ijarah muntahia bittamlik dengan hibah. Pada skim ini, bank membeli
terlebih dahulu objek yang diinginkan oleh nasabah dari suplier. Objek tersebut
kemudian diijarahkan kepada nasabah
dengan menggunakan skim ijarah muntahia bittamlik. Pada akhirnya masa sewa,
bank akan menghibahkan barang dimaksud kepada nasabah sehingga terjadi proses
perpindahan kepemilikan dari bank kepada nasabah. Pada skim ini, angsuran sewa
dipastikan telah meliputi seluruh harga pokok barang dimaksud. [9]
Dengan data diatas maka diperoleh skim alternatif sebagai berikut:
·
Perhitungan bank:
Harga beli mobil oleh bank = Rp 120.000.000
Residual value
= Rp 0
Keuntungan yang diharapkan bank = Rp 120.000.000x12%/thnx2thn
= 28.800.000
(catatan: uang muka
dalam sewa tidak dikenal)
Harga
sewa
= Rp
120.000.000 + Rp 28.800.000
= Rp 148.800.000 (untuk 2 thn)
Angsuran sewa per bulan = Rp 148.800.000/24
= Rp 6.200.000
Karena nasabah telah memiliki dana sebesar Rp 30.000.000, bank dapat
mensyaratkan pembayaran sewa di muka untuk 4 bulan pertama, yakni sebesar Rp
24.800.000. namun, hal ini juga termasuk kebijakan bank. Dengan pertimbangan
tertentu, bank juga dapat memberikan fasilitas pembayaran sewa per bulan tanpa
pembayaran sewa di muka.
·
Skim untuk nasabah:
Jenis fasilitas :
Ba’i wal ijarah muntahia bittamlik dengan hibah
Angsuran sewa 9 bulan pertama : Rp 24.800.000
Angsuran sewa : Rp 6.200.000/bulan
Akhir masa sewa :
Barang dihibahkan.
[1] Al-Syihab al-Din dan Amirah
Qalyubi, Qalyubiy wa Amirah, (
Beyrout-liban: Dar Al-kotob Al-Ilmiyah, 2003), Juz III, Hal 106
[2] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
hal 121
[3]
Andri Soemitra, MA.“Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”.
Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1 hlm.349
[4] Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam.
Majalah hlm. 57
[5] Ibid, hal 64
[7] Andri Soemitra,MA. “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”.
Jakarta: Kencana 2009 Ed.1 Cet.1 hal.350
[8] Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke
Praktik, 2001, Jakarta: Gema Insani. Hal: 118